wibiya widget

Diberdayakan oleh Blogger.
SELAMAT DATANG DI BLOG BEMF PSIKOLOGI UMB YOGYAKARTA
RSS

Terapi Psikoanalistik

BAB I

PENDAHULUAN

DALAM BANYAK LITERATUR,[1] disebut bahwa, metode terapi atau psikoterapi paling tua adalah, model terapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud yang disebut sebagai terapi psikoanalitik.[2] Terlepas dari penyebutannya sebagai yang tertua, terapi psikoanalitik ini banyak dirasa manfaatnya, bahkan, salah satu model terapinya telah berkembang baik di dalam masyarakat dan seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan kita.

Yang dimaksud adalah curahan hati (curhat). Curhat adalah pengungkapan segala apa yang dirasa oleh seseorang kepada seseorang yang lain dengan bebas dan tanpa disela, namun pada titik tertentu, seseorang yang lain harus siap memberi tanggapan apabila diminta. Hal ini, tentu saja tak berbeda jauh dengan definisi free association (asosiasi bebas) yang merupakan salah satu model terapi dari psikoanalitik.

Tidak hanya itu, ternyata, pelopor mazhab ketiga dalam percaturan psikoterapi, Maslow, juga menggunakan metode asosiasi bebas ini. Metologis ini, tulis Goble (1991), sangat akrab dengan dr. Maslow. Lebih lanjut Maslow berpendapat, “pendekatan ini sangat membantu bagi pasien-pasien tertentu untuk menggali dan pemperbaiki sebagian interpretasi mereka yang kekanak-kanakan tentang diri sendiri maupun orang lain.”[3] Dengan demikian, tidak disanksikan lagi bahwa Freud, pada masanya juga sampai hari ini, masih kental pengaruhnya di kalangan para psikiater, walau ada sebagian yang memandang bahwa “gejala Freudian” mulai memudar pada era kini. Baca saja pernyataan Goble (1991: 22) yang melansir bahwa “dewasa ini, meski belum ada teori pengganti yang diterima secara luas digunakan oleh para psikiater, ternyata tinggal satu dua ahli yang terus setia menganut secara ketat doktrin Freudian.”

Namun demikian, kontribusi Freud terhadap kemajuan psikoterapi modern tidak dapat dipandang sebelah mata. Jasanya dalam bidang ini, patut mendapat apresiasi yang layak dan proposional. Tentu, dengan sikap lebih terbuka untuk mengakui keunggulan berpikir orang lain. Perlu dituliskan di sini bahwa, Freud dan psikoanalisisnya adalah satu.

Makalah yang diberi judul Terapi Psikoanalitik ini, dalam penyusunannya menggunakan pendekatan kepustakaan, yaitu dengan menjadikan pelbagai literatur (pustaka tertulis) sebagai referensi utamanya. Sistematika pembahasannya dibagi ke dalam tiga, yaitu (1) Sigmund Freud, (2) Neofreudian, dan (3) Terapi Psikoanalitik.

Bagian pertama, yaitu Sigmund Freud mencakup biografi dan pemikiran Freud. Bagian kedua, membahas neofreudian beserta pandangan-padangannya yang dianggap penting, mulai dari Adler sampai Erikson. Kesemuanya ada tujuh orang. Bagian ketiga, disebut juga bagian pamungkas, membahas terapi psikoanalitik, melingkupi definisi dan pelbagai metode yang ada di dalamnya.

Dengan kata lain, sebelum membahas apa itu terapi psikoanalitik dan kelima model pendekatannya (satu di antaranya telah disinggung di atas, empat lainnya: hipnotis, analisis mimpi, transferensi, penafsiran), akan terlebih dahulu dijelaskan siapa itu Freud, apa saja pemikirannya yang terkenal hingga berpengaruh selama beberapa tahun pada masanya, dan siapa saja orang yang berada di dekat Freud[4] yang kemudian mereka berdikari bersama pemikirannya masing-masing.

Selamat membaca!

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sigmund Freud

SIAPAKAH SEBENARNYA FREUD? Mengapa dia begitu berpengaruh? Apa sebab pemikirannya menjadi pijakan pelbagai psikolog modern saat ini?[5] Jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut akan dijelaskan melalui pembahasan tentang riwayat hidup dan pemikirannya berikut ini.

1. Riwayat Hidup

Sigmund Freud adalah putra pasangan Jakob Freud dan istrinya yang ketiga, Amalia Nathansohn. Frued kecil bernama Sigismund Schlomo Freud. Dia dilahirkan di kota Freiberg, Moravia, Austria-Hungaria (sekarang Cekoslowakia) pada tanggal 6 Mei 1856. Pada 1860, bersama keluarganya pindah ke Wina, Austria. Di Wina pulalah, dia menimba ilmu, sampai akhirnya pada 1881, sarjana kedokteran berhasil diraihnya dari Universitas Wina.

1886, dia bersama Martha Bernays menikah, dan beberapa tahun setelah itu, mereka dikaruniai enam orang anak. Pada tahun yang sama, yaitu 1886, Freud membuka praktik pribadi di bidang neurologi. 1895, The Study of Hysteria terbit sebagai buah tangannya bekerja sama dengan Breuer.Buku ini, sekaligus mengawali kelahiran teorinya yang sangat fenomenal, psikoanalisis. Lima tahun berikutnya, Tafsir Mimpi (1900) terbit. Buku ini disebut-sebut sebagai karya terpenting Freud dan paling original. Berkat karya-karyanya, dia diundang ke Amerika Serikat oleh G. Stanley Hall, psikolog anak sekaligus presiden Universitas Clark, untuk memberikan serangkaian ceramah mengenai apa yang sudah ditulisnya, tapatnya itu terjadi pada 1909.[6] Sebelumnya, yaitu pada 1902, Freud di Wina mengorganisasi kelompok diskusi bertema psikologi, dengan anggota pertamanya adalah Adler, menyusul pada beberapa tahun berikutnya Jung.

Kisah pemikiran dan kesehatannya, sama-sama menunjukkan kekompakkan. Pemikiran Freud banyak kontradiktif dengan orang dekatnya, termasuk Adler dan Jung.[7] Sehingga dia sempat beberapa tahun menyendiri dan dirinya menjadi objek penelitian sendiri. Begitu pula kesehatannya, tak menunjukkan sesuatu yang baik. Bahkan ketika usianya mulai senja, dia mengidap kanker pada tulang rahangnya, dan sudah lebih dari tigahpuluh kali pembedahan dalam upayanya memulihkan kondisi tersebut sejak tahun 1923.

Penderitaan Freud tidak hanya sampai di situ, tahun 1938, dia dipaksa pindah ke London. Hal ini disebabkan karena status Freud sebagai orang Jewish. Jewish atau Yahudi, adalah sekelompok ras yang ingin dimusnahkan oleh Hitler. Hitler, pada tahun tersebut, menduduki Austria. Sebagian yang selamat mengasingkan diri ke luar Austria dan mencari suaka. Termasuk Freud. Namun, sayang seribu sayang, karena satu tahun setelah peristiwa itu, tepatnya 23 September 1939, pada usia 83 tahun, Freud menutup mata untuk selamanya, dan itu berarti London menjadi tempat peristirahatan abadinya. Peninggalan Freud yang paling penting adalah teori psikoanalisis dan segala istilah serta dinamikanya.[8]

2. Pemikiran

Sepanjang hidupnya, terutama pada masa-masa setelah kelulusannya dari Universitas Wina pada 1881, Freud telah menjelma menjadi seorang pemikir yang brilian, banyak berteori dan melakukan penelitian juga menerbitkan buku.[9] Buah pemikirannya, yang kemudian disebut sebagai teori psikoanalisis, itu banyak mengundang polemik dan kritik, atau sifatnya kontroversial. Terutama mengenai, apa yang disebutnya sebagai psikoseksual. Bahwa manusia, asasinya digerakkan oleh insting seksualnya. Insting tersebut, bermula pada saat kanak-kanak dan bukannya pada saat dewasa. Bahkan, insting atau gairah seksual yang tertekan sering menjadi penyebab penting dalam hal penyakit jiwa atau neurosis.

Tidak hanya itu, kompleks Oedipus atau Oedipus complex juga banyak menyedot perhatian publik Amerika waktu itu. Istilah itu sendiri diciptakannya dengan merujuk pada maksud, bahwa anak laki-laki yang dilahirkan ke dunia, memiliki hasrat kepada yang lain jenis dengannya, dalam hal ini ibunya sendiri, dan memandang mereka yang sejenis dengannya, dalam hal ini ayah, sebagai lawan. Penamaannya sendiri diambil dari seorang tokoh terkenal dalam mitologi Yunani yaitu raja Oedipus yang secara tidak sengaja membunuh ayahnya dan kemudian menikahi ibunya sendiri.

Hal lain yang membuatnya cukup ditentang adalah, mengenai penis envy. Horney bahkan secara khusus mengomentari hal ini, sebagai wanita, dirinya tidak merasa ”iri terhadap penis” laki-laki. Bahkan dengan tegas, Horney berasumsi bahwa—alam bawah sadar—laki-lakilah yang justru iri terhadap wanita, yaitu iri akan mengandung dan melahirkan. Teori Horney yang berorientasi pada sosial psikologis membuktikan bahwa dia melawan orientasi teori Freud yang mekanistik dan biologis. Namun demikian, tak melepaskan Horney dari deretan orang dekat Freud.

Kembali pada hal penis envy, Bila kompleks Oedipus ditujukan kepada anak lelaki, maka penis envydiarahkan bagi anak gadis. Istilah itu sendiri, diciptakan oleh Freud untuk menggambarkan fenomena di mana anak gadis mengembangkan perasaan inferiornya dan cemburu atas tidak dimilikinya penis. Dalam bahasa yang lebih sederhana, penis envy lebih kurang sama dengan “iri terhadap penis”. Kedua istilah tersebut, merupakan bagian dari psikoseksual Freud tahap phallic.[10]

Namun, mengenai tersebut, dalam pembahasan ini tidak akan diulas begitu lengkap. Hanya sebatas yang sudah disebutkan saja, sekedar memberi informasi, bahwa itulah pemikiran Freud. Prioritas dalam pembahasan pemikiran Freud ini, ditujukan pada dua, yaitu struktur kepribadian dan struktur pikiran.[11]

a. Struktur Kepribadian

Nevid, dkk. memulai penjelasannya mengenai struktur kepribadian sebagai berikut.

“Menurut hipotesis struktural (structural hypothesis) dari Freud, kepribadian dibagi ke dalam tiga unit mental, atau struktur psikis: id, ego, dan superego. Struktur psikis tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung, namun keberadaannya ditandai oleh perilaku yang dapat diamati dan diekspresikan pada pikiran dan emosi.”[12]

Dengan demikian, kita dapat simpulkan bahwa struktur kepribadian menurut Freud ada tiga, yaitu id,ego, dan superego.[13] Berikut ini penjelasan dari ketiganya.

Id adalah bagian kepribadian yang sangat primitif, inti kepribadian yang belum tercemar: berisi motivasi dan psikis dasar yang disebut insting. Dengan instingnya tersebut, id menuntut pemuasan segera tanpa memperhitungkan aturan-aturan sosial atau pelbagai norma, atau kebutuhan dari orang lain. Maka, id itu sifatnya irealistik, irasional, amoral (tidak dapat menilai ataupun membedakan antara baik dan jahat), khaos (tidak teratur), dan dapat secara serempak memiliki pikiran-pikiran yang bertentangan.

Sebagai segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, id, dengan begitu dioperasikan menurut proses berpikir primer (primary process thinking), yaitu cara yang berhubungan dengan dunia melalui imajinasi dan fantasi. Di samping itu, id juga bekerja berdasarkan tuntutan prinsip kesenangan (pleasure principle). Dengan prinsip ini, id tentu saja hanya bertujuan untuk mencari kenikmatan, atau memuaskan hasratnya, tanpa menghiraukan apakah hal itu tepat atau tidak.Di sinilah, peran ego, menjadi sangat menentukan. Namun, sebelum ego dipaparkan, akan disimpulkan dulu apa itu id. Id, dengan demikian adalah struktur psikis yang tidak disadari, muncul saat lahir, yang berisi insting-insting primitif dan diatur oleh prinsip kesenangan.

Ego merupakan struktur kepribadian yang berkembang untuk menghadapi dunia nyata atau secara harfiah “aku”. Bekerja berdasarkan prinsip kenyataan atau reality principle. Prinsip kenyataan merupakan kekuatan yang mendorong ego untuk menyelesaikan masalah yang nyata. Beroperasi menurut proses berpikir sekunder (secondary process thinking), yakni berpikir realistik, atau dengan bahasa yang lebih lengkap, proses berpikir sekunder ini adalah proses yang dimulai dengan mengingat, merencanakan, dan menimbang situasi yang memungkinkan kompromi antara fantasi dari id dan realitas dari dunia luar (ego). Bertujuan untuk mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Dengan demikian, ego adalah struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri, diatur oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi frustasi.

Superego ialah bagian moral atau etis dalam kepribadian. Dikendalikan oleh prinsip moralistik (moral principle) dan idealistik (idealistic principle) yang kontradiktif dengan pleasure principlenya id danreality principle dari ego. Prinsip moral superego menuntut kepatuhan yang ketat terhadap standar moral. Dengan begitu, superego mencerminkan yang ideal dan bukan yang riil. Karena itu, superego memiliki dua subsistem, yaitu egoideal dan suara hati (conscience). Egoideal adalah superego yang mencerminkan nilai-nilai moral dari self yang ideal. Dengan kata lain, egoideal merupakan serangkaian nilai-nilai sosial yang lebih tinggi dan moral ideal yang hidup dalam superego.

Sedangkan suara hati, atau hati nurani, adalah penjaga moral internal yang mengawasi ego dan memberikan penilaian tentang benar dan salah. Superego berkonsekuensi: bila ego gagal dalam memenuhi standar moral dari superego, maka ego akan dihukumi dengan bentuk rasa bersalah dan malu. Hal demikian, memosisikan ego di antara id dan superego. Karenanya, ego—harus selalu—berusaha untuk memuaskan kebutuhan id tanpa menyerang standar moral superego. Maka dapat disimpulkan, bahwa superego adalah struktur psikis yang menggabungkan nilai-nilai sosial yang diatur oleh prinsip moral; terdiri dari dua bagian: hati nurani dan egoideal.

b. Struktur Pikiran

Bagi Freud, ketiga struktur kepribadian itu menempati struktur lain dalam mental atau pikiran manusia, yang dalam referensi lain sering disebut sebagai alam sadar manusia, yaitu alam kesadaran (conscious), alam keprasadaran (preconscious), dan alam ketidaksadaran (unconscious).

Kesadaran atau conscious mengacu pada pengalaman-pengalaman mental sekarang. Dalam pengertian yang lain, kesadaran dipandang sebagai lapisan mental manusia yang berhadapan langsung dengan realitas. Ia mengenal realitas dengan akrab dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi yang ditemuinya di realitas. Dengan demikian, ia mampu memperoleh apa yang dibutuhkannya.

Kesadaran, seperti halnya ego, bekerja berdasarkan prinsip kenyataan atau reality principle. Karena prinsip kerjanya, maka pengalaman apapun yang masuk ke dalam alam sadar dapat kita sadari sepenuhnya. Mengapa? karena pelbagai pengalam itu tidak bertentangan dengan realitas. Dengan demikian, dapatlah kita tuliskan bahwa alam sadar sesungguhnya bagian dari pikiran manusia yang berhubungan langsung dengan kesadaran kita saat ini, dan bekerja sesuai dengan reality principle.

Keprasadaran (preconscious) merupakan alam sadar manusia yang kedua. Ia merupakan isi mental yang tidak ada dalam kesadaran, tapi dapat dengan mudah masuk ke dalam kesadaran.Keberadaannya diapit oleh dua alam, yaitu alam sadar dan alam taksadar.[14] Pengalaman-pengalaman yang masuk dalam area prasadar ini masih dapat kita sadari bilamana kita menghendakinya. Caranya, dengan kita memfokuskan diri pada hal yang dikehendaki itu.

Penjelasan lebih lanjut dari alam prasadar ini belum begitu memuaskan. Namun demikian, penjelasan yang singkat ini setidaknya telah memberikan informasi bahwa alam prasadar merupakan bagian dari pikiran di mana isinya terletak di luar kesadaran saat ini namun dapat dibawa ke kesadaran dengan memfokuskan perhatian pada apa yang ingin dimunculkan.

Ketidaksadaran atau yang lebih akrab dengan Freud sebagai unconscious merupakan bagian terbesar dari pikiran manusia. Ia diselimuti oleh kemisteriusan. Dan isinya, hanya dapat dimunculkan ke dalam alam kesadaran dengan upaya yang besar, itupun jika bisa. Mengapa demikian? Karena alam asadar ini memendam dan melupakan berbagai dorongan, pengalaman dan kenangan, yang dapat mengancam dialog antara dirinya dan realitas. Bila suatu pengalaman sudah masuk ke areanya, maka akan sangat sulit bagi yang bersangkutan untuk dapat mengenali atau menyadarinya. Dalam pengertian yang lebih ekstrim: pengalaman itu disegel. Namun demikian, diyakini Freud bahwa alam asadar adalah gudang dari dorongan-dorongan biologis, atau insting-insting dasar, seperti seks dan agresi. Dalam hal psikoanalisis Freud, agresi atau agresivitas bukan bermakna “penyerangan” atau “penyerbuan” melainkan suatu insting akan mati; keinginan akan kematian.

Dari uraian itu, dapatlah kita simpulkan bahwa alam taksadar ialah bagian dari pikiran manusia yang terletak di luar kesadaran yang umum dan berisi pelbagai dorongan instingtual, semisal insting hidup atau dorongan seksual dan insting mati atau agresivitas.

Ketiga struktur pikiran yang berkenaan dengan alam kesadaran manusia itu, Freud, menganalogikannya pada fenomena gunung es, di mana daerah yang muncul di permukaan air disebut daerah kesadaran. Sedangkan daerah yang lebih besar, yang terdapat di bawah permukaan air dinamakan daerah ketidaksadaran. Daerah asadar itu sendiri dipicu [dikendalikan] oleh dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, pikiran-pikiran yang direpresikan, berisi kekuatan penting yang mengendalikan pikiran-pikiran dan pelbagai perbuatan setiap individu. Bila dipetakan, maka akan terlihat hubungan sebagaimana di bawah ini.[15]

Struktur pikiran itu sendiri, tak hidup terpisah dengan struktur kepribadiannya. Dengan demikian, ada korelasi yang sangat erat antara id, ego, superego dan alam sadar, prasadar, serta asadar.

Di bawah ini, disuguhkan dua tofografi dari sumber berbeda, dengan harapan dapat diperbandingkan, sehingga perspektif kita akan hubungan di antara keduanya (struktur kepribadian dan struktur pikiran) bisa lebih proposional. “Gambar 2” diilhami dari Iman Setiadi Arif (2006: 15). Sedangkan “gambar 3” disadur dengan tidak merubah struktur aslinya dari Nevid, dkk. (2009: 40).

B. Neofreudian

ADALAH SEBUTAN BAGI orang-orang yang dekat dengan Freud, yang ikut andil dalam memodifikasi, merevisi pelbagai gagasan dasar teori psikoanalisisnya. Lima di antaranya adalah Adler (1870-1937), Jung (1875-1961), Rank (1884-1939), Horney (1885-1952), Sullivan (1892-1949), Fromm (1900-1980), dan Erikson (1902-1994).

1. Adler

Alfred Adler (1870-1939), begitulah nama populernya, dia seorang psikiater Austria yang mulanya merupakan murid Freud, kemudian melepaskan diri dan membuat teori yang dikenal sebagai psikologi individual. Dia kurang sependapat dengan Freud mengenai seksualitas, bagi Adler, penekanan terhadap faktor seksualitas Freud agak berlebih-lebihan.

Adler menekankan pentingnya peran lingkungan terhadap perilaku orang dan berpendapat bahwa kepribadian pada dasarnya adalah kepribadian sosial, dan menyatakan bahwa perasaan rendah diri itu sebetulnya pusat motivasi pada manusia. Perasaan rendah diri meningkat dalam kadarnya untuk mengimbangi kegagalan. Hal ini berguna bagi kita untuk mencapai tujuan dan perasaan inilah yang membentuk gaya hidup yang unik dari setiap orang.

2. Jung

Dia hidup antara tahun 1875-1961, lebih dikenal sebagai Jung dengan nama lengkap Carl Gustav Jung. Psikiater Swiss yang mendirikan psikologi analitis ini semula dipandang orang sebagai pewaris teori psikoanalisis Freud. Namun, pada kenyataannya dia bercerai dengan Freud. Dia tidak dapat menerima pendapat Freud bahwa libido itu sepenuhnya diwarnai oleh kenikmatan seksual dan juga terhadap penekanan pada masa kanak-kanak. Menurut jung, manusia itu mewarisi ketidaksadaran kolektif.

3. Rank

Psikiater kelahiran 22 April 1884 ini, mendefinisikan “keinginan” sebagai aspek diri yang positif dan membimbing, yang secara kreatif menggunakan serta mengendalikan dorongan-dorongan dasar. Lebih lanjut, pemilik nama Otto Rank tersebut, membagi karakter manusia ke dalam tiga tipe. Tipe pertama, orang rata-rata. Yaitu mereka yang sering mengabaikan keinginan sendiri dan menerima keinginan kelompok. Kedua, orang neurotik. Yaitu tipe manusia yang tidak dapat menyelaraskan diri dengan keinginan kelompok, tapi juga tidak merasa bebas untuk menyatakan keinginan sendiri. Ketiga, orang kreatif. Ialah mereka yang menyusun ideal-ideal dan pelbagai standar sendiri, menerima diri sendiri sepenuhnya dan membimbing tingkah laku dengan standar internal yang dibuatnya, dan mengungkapkan diri kepada orang lain dengan karya-karya kreatif. Buku utama psikiater kebangsaan Austria yang meninggal pada 31 Oktober 1939 ini adalah The Trauma of Birth (1929).

4. Horney

Dari sekian pengikut Freud, satu di antaranya adalah wanita, yaitu Karen Horney atau lebih akrab disapa Horney. Psikoanalis ini lahir di Jerman pada 1885 dan meninggal pada 1952. Sama seperti Jung, Horney menekankan konteks sosial bagi perkembangan seseorang. Bahwa pengalaman yang sangat bermacam-macam selama masa kanak-kanak memberikan pola atau ciri kepribadian dan konflik-konflik yang berbeda pula. Psikoanalis yang cukup berpengaruh di Amerika ini berpandangan bahwa sangat penting menekankan efek perasaan yang mengganggu dari keterasingan dan ketidakberdayaan. Dan emosi itu terus berkembang selama interaksi dini anak-orangtua, yang menghambat psikologis anak.

5. Sullivan

Baginya, sama seperti Adler dan Horney, menekankan pentingnya pengaruh sosial. Pria kelahiran 1892 tersebut berpendapat bahwa perilaku yang dapat diterima ataupun perilaku yang menyimpang sebetulnya dibentuk oleh pola interaksi yang terjadi antara anak dan orantua. Lebih lanjut, orang bernama Harry Stack Sullivan itu mempelajari bagaimana kita membentuk sikap tentang diri kita sebagai “saya yang baik” dan “saya yang jahat’. Bagi Psikiatris Amerika ini, yang meninggal pada 1949, bahwa manusia sebenarnya didorong oleh dua kebutuhan: kebutuhan yang berorientasi pada keamanan dan yang berorientasi biologis.

6. Fromm

Lahir di Frankfurt, Jerman pada 23 Maret 1900 dan meninggal 18 Maret 1980. Psikoanalis Jerman ini bernama lengkap Erich Seligmann Fromm, yang salah satu buku pentingnya adalah The Revolution of Hope (1968). Fromm, begitu dia biasa dipanggil, mengklasifikasikan karakter manusia ke dalam lima tipe sesuai dengan orientasinya. Pertama, tipe manusia yang berorientasi reseptif, yaitu menggantungkan diri kepada orang lain untuk mencari dukungan. Kedua, eksploitatif. Ialah tipe manusia yang mengambil berbagai hal dari orang lain dan memanipulasi orang lain. Ketiga, menimbun. Adalah manusia yang dia, menemukan keamanan dengan mempertahankan apa-apa yang dimiliki. Keempat, orientasi pasar. Merupakan tipe manusia yang memandang orang lain sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan.Kelima, orientasi produktif. Ialah jenis manusia yang mengimplikasikan perkembangan potensi-potensi manusiawi yang penuh kreativitas.

7. Erikson

Psikoanalis Amerika kelahiran 15 Juni 1902 ini telah berkontribusi memperluas, mengembangkan teori Freud. Rumusan-rumusannya menekankan pada implikasi sosial dan psikologis, dan meneropong masa dewasa. Pemilik nama Erik Erikson yang meninggal pada 12 Mei 1994 ini telah merumuskan tahapan-tahapan perkembangan kepribadian.[16] Dia juga telah mengembangkan teorinya sendiri mengenai perkembangan kepribadian dari sudut pandang rentang hidup. Di samping itu, dia dikenal sebagai penulis utama tentang psikologi ego, mengkonsepsikan identitas ego sebagai suatu polaritas dari apa seseorang itu menurut perasaan dirinya sendiri dan apa seseorang itu menurut anggapan orang lain . Seorang yang mencapai identitas ego memperoleh rasa memiliki.

C. Terapi Psikoanalitik

TERAPI PSIKOANALITIK MERUPAKAN sumbangsih paling berharga dari seorang Sigmund Freud terhadap psikoterapi modern. Walaupun gagasan-gasan mengenai teorinya lebih bersifat subjektif daripada ilmiah, toh tak menghalangi Freud untuk masuk ke dalam deretan tokoh paling berpengaruh dalam sejarah via Michael H. Hart. Ini membuktikan bahwa, dari ketidakilmiahan teorinya, masih ada sedikit kebenaran yang dapat diambil, setidaknya menjadi bahan renungan bagi kita yang hidup tak semasa dengannya.

Dalam subbab ini, terapi psikoanalitik secara proposional akan diulas, walaupun tidak komprehensif, tapi setidaknya telah ikut berkontribusi untuk merenungi betapa Freud sangat besar jasanya terhadap perkembangan ilmu psikologi modern, utamanya psikoterapi, bahkan tak jarang, buah pikirannya ini dinukil oleh disiplin ilmu humaniora lainnya seperti sosiologi, antropologi, agama, dan juga sastra.

1. Definisi

Terapi psikoanalitik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “psikoanalitik”.[17] Secara eksplisit, “terapi” dalam psikologi berarti perawatan masalah-malah tingkah laku.[18] Sedangkan “psikoanalitik” merujuk pada metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.[19]

Dengan demikian, terapi psikoanalitik dapat dipahami sebagai perawatan yang dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

2. Metode

Ketika Freud menghadapi pasiennya, dia selalu tenang, dan menyuruh pasiennya itu berbaring di sofa untuk menceritakan segala hal. Bagi Freud, metode semacam itu cukup ampuh untuk membantu pasien ke luar dari masalah psikisnya. Lalu, apa “metode” itu? Dalam psikoanalsis Freud, metode diterjemahkan sebagai cara yang digunakan untuk membantu pasien dalam memperoleh pemahaman mengenai konflik-konflik tak sadar yang dia alami sekaligus memecahkannya.

Secara umum, ada sekitar lima metode yang digunakan Freud, yaitu hipnotis (pada masa awal), asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.[20]

a. Hipnotis

Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun 1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina bernama Franz Anton Mesmer memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian berubah menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada abad ke-19, Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar tahun 1825-1893 itu melihat hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak diketahui, di Paris, Charcot melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk menangani hysteria, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.

Pada saat demonstrasi eksperimen Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang diketahui belakangan bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan bahwa apapun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di luar area kesadaran.[21] Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat alam tak sadar manusia.[22] Hanya beberapa tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia meninggalkannya karena dirasa hipnotis tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak kesadaran akan hal tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian, jejak rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud pernah menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri, walau Freud sendiri sudah tidak pernah lagi menggunakannya.

Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk. (1997) seperti ditulis Semiun (h. 555) mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer saat menangani pasien yang mengidap histeria.

b. Asosiasi Bebas

Free Association, buku karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal seratus halaman tersebut, asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih dari berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain dalam suatu urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.

Dan dalam sebuah kesempatan, salah satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008: 383) menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”.[23] Dijelaskan kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan proses mengatakan apapun yang terlintas dalam pikiran secara bebas, berkaitan dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar apapun. Sedangkan Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana pasien, dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa saja yang melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.

Senada dengan ketiga tokoh di atas, Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas sebagai suatu metode [terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang muncul pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.

Dari pelbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free associationadalah suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya, termasuk mimpi-mimpi, pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor.[24]

Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan. Salah satunya, adalah apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi bebas] ialah bahwa lewat diskusi yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis terhadap mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang kejadian-kejadian di masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi sebab bagi kesulitannya [sekarang].”

Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang mahasiswi suatu kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian, sesudah puas [d]ia berbicara, sementara selama itu sang terapisnya sendiri tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah memecahkan masalahnya secara memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada sang terapis atas jasa-jasa keahliannya.”

Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat dikatakan sebagai suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34 orang yang baru menjalani pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun terakhir. “Dua puluh empat di antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan yang telah mereka terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.”[25] Maslow sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah mempraktikan asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.

c. Analisis Mimpi

Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik menuju ketaksadaran”. Hal tersebut didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan manifes atau manifest content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan. Sedangkan yang disebut kemudian, ialah materi bawah sadar yang disimbolisasikan atau diwakili oleh mimpi.

Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang menaiki Garuda Indonesia. “Terbang” adalah muatan yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa “terbang” merupakan simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi merefleksikan isi bawah sadar yang berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.

Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk asosiasi bebas, tapi dalam konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan mental yang sangat terorganisasi sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang terbit tahun 1900, yaitu The Interpretation of Dreammenjadi bukti konkret akan bentuk perhatian khusus itu.

d. Transferensi

Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya.

Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.

e. Penafsiran

Penafsiran itu sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi, pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.

Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.

BAB III

PENUTUPAN

A. Simpulan

ADA EMPAT POIN penting dari apa yang sudah dipaparkan dalam makalah ini.

Pertama, Sigmund Freud telah berkontribusi dalam mengawali lahirnya psikoterapi modern. Sebagai salah satu model konseling, terapi psikoanalitik dengan tokoh utama Freud ini pada mula kelahirannya banyak mengundang kontroversi namun tetap menarik untuk dibahas, bahkan Freud sendiri masuk dalam deretan Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah versi Michael H. Hart.

Kedua, pemikirannya mengenai struktur kepribadian yang meliputi id, ego, dan superego banyak mencuri perhatian masyarakat dunia, bahkan dalam pelbagai disiplin ilmu, teorinya mengenai tersebut banyak dipetik. Pemikirannya yang lain tentang struktur pikiran: alam sadar, prasadar, dan asadar juga tak kalah menariknya untuk didiskusikan, terlebih semuanya menjelaskan tentang abnormalitas manusia dari segi psikologis.

Ketiga, para neofreudian, seperti Adler, Jung, Horney, Sullivan, dan Erikson telah memberikan napas segar bagi hidupnya pemikiran Freud. Usaha mereka dalam merevisi dan mengembangkan pemikiran Freud patut kita apresiasi.

Keempat, terapi psikoanalitik merupakan perawatan yang dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran. Kesemua metode, memiliki kekhasan tersendiri dan identitas yang tidak jauh. Namun semuanya bermanfaat jika kita bijak dalam mempergunakannya.

B. Saran

SARAN KAMI HANYA satu, bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan tapi kami mendorong kepada teman-teman untuk menilik lebih jauh permasalahan terapi psikoanalitik ini dan menyarankan membaca sebanyaknya buku mengenai tersebut. Diharapkan, pada masa yang akan datang, di antara kita ada yang linguis sekaligus psikiater, ibarat kata sekali dayung dua pulau terlampaui. Semoga!


[1] Lihat tulisan (1) Prof. Sutardjo A. Wiramiharja, Pengantar Psikologi Klinis (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 88., yang menuliskan bahwa “Psikoanalisis dapat dianggap sebagai jenis metode atau teknik yang tertua dalam jajaran psikoterapi modern …”. Di samping itu, (2) Jeffrey S. Nevid, ddk., Psikologi Abnormal (Jilid 1). Penerjemah Jeanette Murad, dkk. (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 104., menyebutkan bahwa “Psikoanalisis merupakan terapi psikodinamika yang pertama”. Senada dengan itu, (3) Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah E. koswara (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 13., juga menyebut bahwa “psikoanalisis adalah aliran pertama dari tiga aliran utama psikologi.” Bahkan (4) A. Supratiknya dalam “kata pengantar” untuk buku terjemahan dari Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 3: Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Penerjemah Yustinus (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 10., mengklasifikasikan psikoanalitik ini ke dalam mazhab pertama yang agak psimistik. ”Pendekatan psikodinamik dalam konseling mempresentasikan tradisi utama dalam konseling dan psikoterapi kontemporer.” Pernyataan ini seperti ditik ulang dari (5) John McLeod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Penerjemah A.K. Anwar (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 89. Hal yang tak bisa dielak, bahwa pada setiap buku yang mengulas psikoterapi, psikiatri, ataupun psikologi selalu menempatkan terapi psikoanalitik Freud atau teori psikoanalisisnya di bagian awal. Itu suatu bukti bahwa, Freud dan psikoanalisisnya adalah prioritas, bahwa ia adalah teori paling awal, atau tua.

[2] Istilah lain yang sering dipersamakan adalah “terapi psikodinamika” contohnya dalam Nevid, dkk. (2009: 104); “terapi psikoanalisis” lihat Iman Setiadi Arif, Dinamika Kepribadian: Gangguan dan Terapinya (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 85.; dan “psikoterapi rekonstruktif” lihat MIF Baihaqi, dkk., Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan(Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 143.

[3] Lihat Frank G. Goble, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Penerjemah A. Supratinya (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 137.

[4] Sebenarnya, kami ingin menggunakan kata pengikut atau murid Freud, namun sepertinya kurang tepat. Alasannya, karena dari tujuh orang yang kami akan bahas, semuanya tidak menyatakan sebagai pengikut, apalagi murid. Dalam suatu wawancara pribadi antara Maslow dan Adler misalnya, Adler sangat marah dengan penyebutan bahwa dia seorang murid Freud. Lebih lanjut, Adler menegaskan bahwa dia tidak pernah menjadi murid atau pengikut Freud. Lengkapnya, silahkan baca Goble (ibid), h. 194.

[5] Dikatakan pijakan para psikolog saat ini, karena hampir semua pembahasan mengenai psikoterapi itu tidak dapat dipisahkan dari teorinya Freud. Dalam keterangan ini, alangkah baiknya kita petik apa yang terdapat dalam Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Kepribadian: Teori Kelasik dan Riset Modern (Jilid 1). Penerjemah Fransiska Dian Ikarini (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 73., yang menyebutkan bahwa ”Sekarang karya Freud adalah yang paling banyak dikutip dalam semua bidang psikologi, dan juga banyak dikutip dalam banyak ilmu sosial lainnya.”

[6] Dalam ceramahnya itu, ”Freud, meskipun gugup berada di depan penonton semacam itu, mempresentasikan ide-idenya dengan baik. Ini adalah awal dari penyebaran ide-ide psikoanalisis di Amerika Utara.” seperti ditulis oleh Friedman & Schustack (ibid).

[7] Kees Bertens (ed.), Psikoanalisis Sigmund Freud (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 1., menyebutkan “… bahwa penemu psikoanalisis ini masih tetap kontroversial, sama seperti saat dia hidup. Inilah kebenaran yang memang tidak dapat diragukan.” Pernyataan ini, secara tersirat menyampaikan informasi kepada kita bahwa perpisahan antara Freud dan Adler & Jung juga tak terlepas dari kontroversi-kontroversi yang ada di intern mereka. Pada akhirnya, Adler menamakan teorinya dengan ”psikologi individual” dan Jung ”psikologi analitis”.

[8] Selanjutnya tentang Freud dapat dibaca di Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Penerjemah H. Mahbub Djunaidi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1982), pada bagian Sigmund Freud. Juga K. Bertens (ibid), pada bagian “Pendahuluan: Riwayat Hidup dan Ajaran Sigmund Freud”. Perlu diterangkan di sini bahwa psikoanalisis adalah suatu teori kepribadian, sistem filsafat, dan metode psikoterapi (Corey, 2007), h. 7.

[9] Perlu diketahui bahwa Freud dalam hal ini dipengaruhi oleh dua ilmuwan besar pada waktu itu, adalah neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer. Sedangkan buku-bukunya yang lain, yang ditulisnya adalah sebagai berikut: The Interpretation of Dreams (1900), “Psikopatologi tentang Hidup sehari-hari” (1901), Three Essays on the Theory of Sexuality (1905), “Lelucon dan Hubungannya dengan Ketidaksadaran” (1905), dan “Kasus Dora” (1905). Kesemua buku tersebut, berkaitan erat dengan teori psikoanalisisnya.

[10] Phallic (bahasa Inggris) atau falik dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Yunani “phallos” yang artinya “penis”. Dalam psikoanalisis Freud, penis di sini digunakan menurut nilai simbolisnya.

[11] Dalam pelbagai buku, ditemukan banyak istilah yang merujuk pada penyebutan id, ego, dan superego serta sadar,prasadar, dan asadar. Namun pada akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada “struktur kepribadian” untuk menyebut id,ego, dan superego. Sedangkan untuk menyebut sadar, prasadar, dan asadar kami pilih “struktur pikiran”. Hal ini berdasarkan pengklasifikasian Nevid, dkk., (ibid), h. 40. Sebagai catatan, kami ingin menggarisbawahi bahwa sesungguhnya, pada awal kemunculan Freud, yang terlebih dahulu adalah struktur pikiran, baru setelah itu, Freud berbicara mengenai struktur kepribadian setelah merasa bahwa struktur pikiran belum begitu memuaskan. Dalam makalah ini, yang didahulukan bukan struktur pikiran, melainkan struktur kepribadian. Hal ini, agar kami dalam memetakannya lebih mudah.

[12] Nevid, dkk., (ibid)

[13] Dalam bahasa aslinya, yaitu Jerman, Freud menggunakan Es, Ich, dan Ueberich. Namun, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi id, ego, dan superego. Hal tersebut, mengikuti terjemahan Latinnya. Terjemahan Indonesia, sebaiknya mengikuti yang Inggris.

[14] “Taksadar” seharusnya ditulis pisah, sebab dua kata: “tidak” yang diperpendek menjadi “tak” dan “sadar”. Namun, karena “taksadar” terjemahan dari unconscious yang ditulis menyambung, maka terjemahan yang tepat lagi baik terhadapnya juga demikian, yaitu disambung menjadi “taksadar”. Sebenarnya ada yang lebih mendekati terhadap konsep penulisan unconscious dalam bahasa Indonesia, yaitu “asadar”. Dalam makalah ini, keduanya dipergunakan secara substitutif.

[15] “Gambar 1” direkonstruksi dari original picturenya yang terdapat di Iman Setiadi Arif (h. 14).

[16] Tahapan-tahapan perkembangan kepribadian Erikson meliputi: rasa percaya vs rasa tidak percaya, otonomi vs malu dan ragu, inisiatif vs rasa bersalah, industri vs rasa rendah diri, identitas lawan kekaburan peran, intim lawan isolasi atau terasing, generativitas lawan absorpsi diri, dan integritas lawan putus asa.

[17] Walau tak disangkal, bahwa “psikoanalitik” sendiri terdiri dari dua kata yang kemudian digabungkan, ialah “psiko” dan “analitik”, namun dalam hal ini, “psikoanalitik” disebut satu kata sebab sudah memiliki konsep tersendiri.

[18] Lihat Semiun, Kesehatan Mental 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 631., dalam “daftar istilah”.

[19] Nevid, dkk. (h. 104). Dalam hal ini perlu diketahui bahwa Freud, dalam mengembangkan metode psikoterapinya, menggunakan hipnotis (walau tidak lama), free association, analisis mimpi, transference, dan penafsiran. Keempat metode yang disebut terakhir, itu berdasarkan Semiun (h. 345-350). Dan tiga di antaranya, tanpa hipnotis dan penafsiran, disebutkan oleh Nevid, dkk. (h. 104-106).

[20] Pada mulanya ini membingungkan, tapi kemudian dapat dipahami, bahwa setiap kita sebenarnya adalah “penyalin” dan “penafsir”. Dalam realisasinya, ada “penyalin dan penafsir yang baik” dan ada “penyalin dan penafsir yang kurang baik”. Terlepas dari itu semua, Iman Setiadi Arif (h. 91-98) menuliskan ada tujuh teknik psikoanalisis, mulai dari asosiasi bebas sampai terminasi, sedangkan Nevid, dkk. (2009), senada juga dengan Sutardjo A. Wiramihardja (2007), menyebut ada tiga teknik. Dan ketiganya sudah disinggung pada footnote sebelumnya. Dan yang kami gunakan, tentu saja apa yang sudah ditulis oleh Semiun (2010), yang menyebut bahwa metode terapi psikoanalitik itu ada empat (lihat footnote ke-14), dengan satu pengecualian: hipnotis. Corey (2007), seperti juga dalam makalah ini, menyebut ada lima teknik terapi psikoanalitik, dengan mengecualikan hipnotis dan menyertakan analisis terhadap resistensi. Lengkapnya, baca h. 42-46.

[21] Hal ini merupakan ide penting yang mendasari perspektif psikologis pertama mengenai perilaku abnormal, model psikodinamika.

[22] Sekitar tahun 1881-1891, Freud bekerja di rumah sakit di Prancis bersama Charcot dan Breuer. Pada saat itulah, Freud berkenalan dengan hipnotis. Perkenalannya dengan hipnotis, tidak hanya dari Charcot, melainkan juga dari Breuer (1842-1925), yaitu pada saat Breuer menangani kasus Anna O. yang mengeluhkan hysteria di mana terjadi kelumpuhan-kelumpuhan namun tidak terdapat dasar medis yang melatarbelakanginya. Seperti, otot lehernya yang mengalami “lumpuh” sehingga dia tak dapat menolehkan kepalanya, dan juga jemarinya yang tidak mampu untuk digerakan sehingga dia tidak dapat menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri.

[23] Pasien yang dimaksud adalah Bertha Pappenheim (1859-1936) atau lebih akrab dikenal sebagai Anna O. dalam literatur psikologi modern. Pada saat itu, ide asosiasi bebas baru muncul. Diilhami oleh kebiasaan Breuer yang selalu menghipnotis orang yang kemudian orang tersebut didorong untuk membicarakan keluhannya. Pada saat itu, Freud memandang bahwa cara yang baik adalah dengan demikian, yaitu dengan berbicara sebebas mungkin, sehingga pasien mengalami apa yang disebut Breuer—pada akhirnya juga diadopsi oleh Freud—sebagai “katarsis”. Yaitu menghilangkan tegangan dan kecemasan dengan cara berbicara dan menghidupkan kembali suatu kejadian traumatik.

[24] Pada saat pasien melakukan asosiasi bebas, analis mencatat sedikit demi sedikit apa-apa yang diasosiasikan, yang nantinya pastilah akan membentuk kepingan ide, perasaan-perasaan, yang meskipun nampaknya tidak ada hubungan, tak logis, dan urutan waktunya salah, tetapi bagaimanapun juga secara emosional berhubungan. Dengan mengetahui latar belakang pasien, akan memudahkan analis membimbing pasien menuju ke arah yang lebih baik.

[25] Goble (1991), (ibid), h. 138.


Sumber :

kilik tulisan ini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar