wibiya widget

Diberdayakan oleh Blogger.
SELAMAT DATANG DI BLOG BEMF PSIKOLOGI UMB YOGYAKARTA
RSS

Uang Saku Anak dan Mengajar Menabung


Tidak ada patokan yang pasti soal besaran uang saku. Yang jelas saat anak ditinggal di sekolah, saat itu orangtua sudah bisa mulai memberi uang saku. Biasanya setelah masuk SD karena tidak ditunggui lagi. Untuk anak SD, uang saku diberikan tidak dalam jumlah besar dan secara harian. Kalau sudah menginjak SMP, kita beri pelatihan mengelola keuangan yang agak besar, yaitu dengan memberi uang saku secara mingguan. Sesudah SMA da kuliah barulah kita mempercayakan ia mengelola uang saku bulanan.

Tentu si anak tidak langsung mampu mengelola keuangannya dengan baik. Bisa si anak SMP, tiga hari saja uang sakunya sudah ludes. Atau baru tiga minggu, si anak SMA sudah melapor lagi meminta bantuan. Tidak masalah. Anak-anak kita harus terus belajar. Lebih baik sekarang dia gagal mengelola uangnya, daripada nanti ketika kuliah di tempat jauh (kota lain, luar negeri) atau bekerja, dia tidak bisa mengelola keuangannya.

Mengajar Anak Menabung

Menabung tidak sama dengan menimbun. Menabung adalah menyimpan sejumlah uang tertentu, bisa setiap hari, bisa setiap minggu, bisa setiap bulan; untuk keperluan masa depan. Misalkan untuk kontrak rumah atau pengeluaran lain yang tidak bisa dibayar dari penghasilan bulanan. Misalnya kita perlu Rp 6 juta per tahun untuk kontrak rumah, maka kita harus menabung Rp 500 ribu per bulan. Dengan menabung kita bisa membeli barang yang lebih mahal, yang tidak terjangkau dengan gaji bulanan kita.

Dengan menabung, selain kita bisa membeli barang yang lebih mahal, kita juga bisa menolong orang lain. Tujuan menabung bukannya supaya kita punya banyak uang. Itu namanya menimbun. Menabung adalah kita memang mau menggunakan uang itu untuk membeli suatu barang, tetapi masih tertunda. Tabungan itu pasti akan dikeluarkan suatu saat. Berbeda dengan menimbun. Tuhan mengecam orang yang menganggap kekayaan yang ditimbun itu bisa memelihara hidupnya. Kita harus banyak belajar jangan sampai kita menimbun, sepertinya Tuhan tidak bisa memelihara kita.

Waktu awal krisis moneter kami belanja di supermarket. Kami bertemu teman membawa troli penuh barang. Dia bilang, ”Kamu gimana, sih, timbun dong. Kalau nggak, besok harga naik lho.”

Saya jawab, nggak ada duit untuk beli barang sebanyak itu. Tapi sekalipun ada, saya tidak akan timbun barang. Saya percaya, dalam setiap situasi sulit yang Tuhan percayakan, Tuhan punya rencana. Saya belajar memberi kesempatan untuk orang lain. Coba, gara-gara kamu timbun, orang lain tidak mendapatkannya.

Ini juga bisa kita terapkan dalam mendidik anak sehari-hari. Contohnya anak kami tahu, kalau lemari sudah penuh itu artinya dia harus berbagi. Kami tidak akan beli lemari baru. Untuk itu pun ada yang harus diperhatikan. Saya bilang anak-anak, ”Kalau membagi harus yang layak pakai, jangan sampai ada yang kancingnya copot atau jahitannya lepas. Apa nanti dia harus beli kancing dan benang lagi? Dia tidak punya uang. Jadi kasi yang bisa langsung dipakai.”

Setelah dikumpulkan, jumlahnya satu kantong plastik. ”Ma, kasi siapa?”

Doakan supaya orang yang dikasi jangan sampai tersinggung. Kami pernah menawarkan baju bekas-pakai kepada seseorang, dia menolak. Ada juga orang yang tidak mau memakai yang bekas. Jadi kita tanya dengan baik-baik, kita doakan, pasti akhirnya lebih gampang memberikan kepada orang lain yang membutuhkan lebih banyak.

Jangan pernah mau menimbun barang apapun seolah kita tidak percaya Tuhan bisa memelihara kita. Walaupun barang itu dari uang tabungan, ada perasaan mahal atau sayang kalau dikasi ke orang. Tujuan kita adalah mengajarkan anak sejak kecil untuk berbagi.

Dalam Kitab suci ada satu kisah tentang penimbun yang kaya. Dia membangun lumbung besar untuk menyimpan kekayaannya, lalu dia bersenang-senang. Ini sangat menyedihkan. Allah menyebutnya sebagai bodoh. Mengapa bodoh? Karena dia lebih percaya uang dari Allahnya. Dia meninggal sebelum sempat membelanjakan uangnya. Betapa sia-sianya!

Mengajari Anak Menabung

Bagaimana mengajar anak menabung?

a. Ajari dia menabung di awal

Beri dia uang saku, jangan pas-pasan, lebihkan sedikit dari perkiraan kita. Misalnya uang sakunya Rp 200.000. Berikan dia Rp 225.000. Kita tantang dia agar menyimpan sisanya lantas membeli sesuatu dari tabungannya. Misalkan majalah, buku, pulsa, fotocopy, dan lain-lainnya. Mereka juga bisa pakai tabungannya untuk aksi sosial, uang duka, dan sebagainya. Jika tetap ludes tidak bersisa, jangan langsung kurangi uang sakunya. Kita ajar lagi, tantang untuk menabung, coba lagi.

Pernah terjadi, anak kedua saya berhasil menabung sebulan. Bulan berikutnya saya kasi mingguan, terus harian. Itulah variasinya, yang penting dia belajar menghargai uang, tidak menghabiskannya begitu saja.

b. Minta dia tabung sisanya

Misalnya jika uang sakunya sehari Rp 5000, jangan beri lembaran 5000-an. Pecah uangnya menjadi 4×1000-an dan 2×500-an. Tantang dia untuk tabung yang 500-nya. Sediakan celengan untuk itu, usahakan yang transparan. Jadi, dia akan melihat uangnya makin banyak. Dia akan termotivasi membuat celengannya cepat penuh. Ceritakan padanya, nanti di akhir bulan dia akan punya uang sejumlah sekian. Dengan demikian, anak terbiasa menabung di awal dan kalau dikemudian hari dia gajian dia juga terbiasa menyisihkan gajinya untuk ditabung.

b. Biasakan menabung koin

Banyak orangtua sering meninggal-kan koin kembalian di meja restauran. Itu bisa jadi contoh jelek bagi si anak yang melihat. Dia akan menilai, ”Ah, uang segini sih gak ada artinya.” Kelak dia akan meremehkan nilai uang tertentu, padahal kalau koin dikumpulkan, suatu saat jumlahnya akan besar. Jadi kita berikan kepada mereka koin-koin itu untuk ditabung, kita tunjukkan suatu saat buktinya.

Salam Konseling

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar