Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, tak dapat dinafikkan bahwa media komunikasi berteknologi saat ini sangat berkembang dengan pesat. Mungkin perkembangan teknologi komunikasi ini akan lebih cepat daripada perkembangan teknologi transportasi. Sebagai suatu misal, perkembangan HP, internet, televisi dan teknologi komunikasi lainnya akan lebih cepat daripada perkembangan mobil dan lain sebagainya. Selain adanya kelebihan pada teknologi komunikasi (hi-tech communication) yang telah disinggung pada bagian sebelumnya maka sebenarnya terdapat beberapa dampak psikologis, antaranya; Daftar Pustaka
M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi. Buku Ajar Psikologi Komunikasi – Fakultas Psikologi Unair 2010
Dampak psikologis Teknologi Komunikasi
Mengatasi Efek Reaktif Observasi
Dalam proses observasi tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan efek reaktif. Efek reaktif yang dimaksudkan adalah sebagai situasi yang mana proses atau kejadian yang normal tidak terlihat, oleh karena kehadiran pengamat dari luar. Misalkan karena subjek sadar sedang diobservasi. Beberapa cara untuk mengatasi hal ini adalah
1.Menjadi netral
Usahakan observasi dilakukan dengan cara tanpa melakukan stimulus, sikap ataupun perilaku yang dapat mempengaruhi perilaku normal kecuali pada observasi analog.
2.Posisi diri dari tempat yang diamati
Mengatur posisi diri dalam mengamati dan melakukan pencatatan agar tidak mengganggu dan mempengaruhi perilaku normal dari observe.
3.Perhatian dari satu orang ke yang lain
Hindari bentuk perhatian yang dapat membuat observer menjadi pusat perhatian dari satu orang ke yang lain termasuk observe.
4.Batas nilai stimulus observer
Batasi setiap stimulus-stimulus yang mungkin observer munculkan pada saat proses pengamatan berlangsung agar perilaku normal tidak terpengaruhi oleh stimulus yang observer munculkan.
5.Ikuti semua aturan tempat yang diamati
Selama proses observasi berlangsung, ikutilah segala bentuk peraturan dan kebiasaan dimana tempat tersebut dijadikan tempat pengamatan. Mengikuti aturan dalam setting tempat dapat membuat observer terhindar dari perilaku mencolok yang dapat menimbulkan perilaku normal observe berubah.
6.Perhatikan ketika observer masuk dalam tempat pengamatan
Ketika masuk dalam tempat pengamatan usahakan tidak terlalu mencolok perhatian dari observe di tempat pengamatan. Sehingga kehadiran observer tidak memberikan ketidaknyamanan bagi observe.
Modifikasi Perilaku (Fading)
Fading adalah perubahan secara bertahap dimana sebelum melangkah ke tahap berikutnya maka tahap sebelumnya harus berhasil terlebih dahulu (misalnya, munculnya respon yang diharapkan) dan setiap keberhasilan akan mendapatkan reinforcement; terdapat suatu stimulus yang mengontrol suatu respon, dimana akhirnya akan terdapat stimulus yang berbeda yang akan menghasilkan respon yang sama.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS FADING:
Memilih stimulus akhir yang diinginkan (stimulus yang kita harap dapat menghasilkan perilaku pada bagian akhir dari prosedur fading). Kita harus berhati-hati dalam memilih stimulus ini. Sehingga munculnya respon atas stimulus ini dapat dipertahankan di lingkungan pasien sehari-hari. Salah satu fading yang salah yaitu ketika fading tidak memasukkan aspek-aspek situasi yang sering dijumpai oleh pasien di lingkungannya sehari-hari.
Memilih stimulus awal. Penting untuk memilih stimulus awal, yang secara konstan/reliabel, dapat membangkitkan perilaku yang diinginkan. Stimulus tambahan yang mengontrol perilaku yang diinginkan tetapi bukan merupakan bagian dari stimulus akhir yang diinginkan disebut dengan prompts. Ada berbagai macam prompts, antara lain: verbal prompts, gestural prompts, enviromental prompts, physical prompts. Seorang guru mungkin akan memberikan sebagian atau semua jenis prompt ini untuk memastikan respon yang benar. Memilih beberapa jenis prompt, secara bersamaan, yang secara konstan menghasilkan respon yang diinginkan akan meminimalkan kesalahan dan memperbesar keberhasilan program fading.
Memilih langkah-langkah fading. Penting untuk mengawasi secara dekat performa pelajar untuk menentukan seberapa lama seharusnya fading dilaksanakan.
PEDOMAN PENERAPAN FADING YANG EFEKTIF:
Memilih stimulus akhir yang diinginkan. Tentukan secara jelas stimuli apa yang akan diberikan ketika target perilaku seharusnya muncul.
Memilih penguat yang pantas, memilih stimulus awal dan langkah-langkah fading:
- Menentukan secara jelas kondisi ketika perilaku yang diinginkan terjadi.
- Menentukan secara jelas dimensi-dimensi (misalnya, warna) yang ingin dipudarkan (fade) untuk mencapai stimulus kontrol yang diinginkan.
- Menekankan langkah-langkah fading yang spesifik untuk dipatuhi dan aturan-aturan tentang perpindahan dari suatu tahap ke tahap selanjutnya.
Merencanakan antisipasi kegagalan: Pemudaran (fading) isyarat-isyarat haruslah secara bertahap sehingga kemunculan kesalahan dapat diminimalkan. Jika kesalahan terjadi, kita harus kembali lagi ke langkah sebelumnya dan melakukan beberapa kali latihan serta memberikan prompt-prompt tambahan.
Cara - Cara Membangkitkan Motivasi Diri.
Seringkali rutinitas dan berbagai masalah yang datang silih berganti setiap hari membuat kita kehilangan motivasi untuk mendapatkan yang lebih baik dalam kehidupan. Membuat semua tujuan kita mengabur dan lama-lama menghilang. Kemudian bagaimanakah cara membangkitkan motivasi diri dan meningkatkan motivasi tersebut
Apa yang dimaksud dengan motivasi?
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Motivasi juga merupakan suatu keadaan yang mendorong, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku dalam melakukan sesuatu.
Bagaimana proses terbentuknya motivasi dalam diri seseorang? Jelaskan beserta contoh kasusnya.
Terbentuknya motivasi berasal dari dua jenis, yaitu berasal dari diri sendiri (internal) dan juga berasal dari lingkungan. Motivasi internal adalah motivasi yang muncul dari dalam diri sendiri tanpa ada faktor luar yang mempengaruhi. Motivasi ini lebih menekankan nilai dari kegiatan itu sendiri dari pada penghargaan dari luar. Motivasi internal masih dibagi lagi menjadi dua yaitu, determinasi diri dan pilihan personal. Determinasi disini maksudnya adalah kita melakukan sesuatu karena kita mau melakukannya bukan karena paksaan atau imbalan. Sedangkan pilihan personal adalah kita melakukan sesuatu karena kita merasakan perasaan bahagia dan menyenangkan, kita merasakan kepuasan tersendiri ketika selesai melakukan sesuatu. Motivasi yang muncul dari dalam diri misalnya, kita melakukan suatu pekerjaan karena kita ingin mengembangkan diri dalam bidang pekerjaan tersebut bukan karena faktor luar seperti hukuman dan imbalan.
Berbeda dengan motivasi ekternal yaitu motivasi yang muncul karena dorongan dari luar baik itu berupa hal yang positif seperti imbalan, reward, hadiah, penghargaan dan lain-lain maupun hal yang negatif seperti, hukuman, paksaan dll. Contiohnya kita bekerja karena gaji yang akan kita dapatkan setiap bulannya.
Motivasi yang paling kuat adalah motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang, sebab kita dengan sadar ingin melakukan sesuatu bukan karena imbalan, pujian, hukuman dan lain-lain tetapi karena kita memang menginginkannya.
Apa saja yang bisa mempengaruhi terbentuknya motivasi dalam diri seseorang? (Internal? Eksternal?) penjelasan dan contoh kasusnya.
Sesuatu yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang adalah intensitas sejauh mana faktor internal dan eksternal memberikan dorongan. Semakin kuat dorongan dari dalam maupun dari luar akan memberikan motivasi yang semakin besar bagi seseorang. Seseorang yang bekerja dengan menghasilkan penjualan sebanyak 20 produk akan mendapatkan uang sebesar 500 ribu, ia akan termotivasi untuk menjual lebih jika kompensasinya lebih besar dan lebih besar lagi dari pada sebelumnya.
Adakah manfaat dari sebuah motivasi? contoh kasusnya.
Tanpa motivasi maka seseorang tidak akan melakukan apa-apa, kita makan, minum, bersosialisasi, bekerja, belajar, berhubungan dengan lawan jenis, semua membutuhkan motivasi, baik itu motivasi yang muncul dari dalam diri sendiri maupun karena faktor luar.
Tapi ada kalanya motivasi itu perlahan surut bahkan pada kasus tertentu, hilang sama sekali. Apa yang bisa mempengaruhi berkurang atau bahkan hilangnya motivasi dalam diri seseorang? penjelasan dan contoh kasusnya.
Motivasi dari dalam diri adalah motivasi yang paling kuat bertahan dibandingkan motivasi yang muncul karena faktor eksternal. Mengapa? Sebab faktor luar biasanya berupa imbalan, hadiah, penghargaan dll dan itu mudah berubah. Jika faktor luar tersebut hilang, maka motivasi kita dapat turun dan bahkan hilang sama sekali. Misalnya kita bekerja keras untuk dapat melebihi target yang di tetapkan oleh atasan kita, dengan iming-iming bonus di akhir bulan. Ketika bonus tersebut dihilangkan, kita bisa saja menurunkan produktifitas kerja atau bahkan tidak berniat lagi mengejar penjualan melebihi target yang diberikan.
Lalu jika situasinya memang demikian, adakah tip atau saran khusus yang bisa membangkitkan atau menguatkan motivasi yang mulai menurun tadi? Bagaimana tahapannya? Tolong berikan penjelasan berikut contoh kasusnya.
Mulailah dengan memotivasi diri sendiri, poin paling penting adalah: apa yang sebenarnya anda cari, untuk apa anda melakukannya, dan apa yang anda peroleh dengan melakukannya, tanyakan pertanyaan tersebut pada diri anda. Jika sudah, buatlah itu menjadi tujuan anda dalam melakukan sesuatu. Buatlah sebuah perencanaan untuk mencapai itu, baik perencanaan harian, mingguan atau bahkan bulanan. Jika anda merasakan kesulitan, maka cobalah berpikir alternatif dan mencari dukungan. Bahkan ketika anda berhasil mencapai tujuan anda, berilah kompensasi pada diri anda sendiri, misalnya dengan mentraktir diri sendiri, memuji diri, atau memberikan apresiasi bagi diri anda.
Lalu apa yang harus dihindari agar motivasi kita selalu terjaga dengan baik? Adakah saran-saran khusus?
Motivasi akan terjaga dengan baik jika kita mempertahankan motivasi internal atau motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri, sehingga memunculkan dorongan, semangat, gairah dalam melakukan sesuatu atas inisiatif diri sendiri. Lakukanlah sesuatu yang memang membuat diri kita benar-benar menyukainya, lakukan sesuatu karena kita menginginkannya, bukan karena paksaan, hadiah, imbalan, pujian, penghargaan dan lain-lain.
Lalu bagaimana tip untuk memberi motivasi kepada orang lain yang tidak atau lemah motivasinya? berikan penjelasan.
Memotivasi orang lain bisa dengan dua cara, menumbuhkan motivasi internalnya atau motivasi ekternal. Memotivasi orang secara internal dimana motivasi tersebut tumbuh dari dalam diri orang tersebut, lebih sulit dibandingkan dengan menumbuhkan motivasi yang muncul karena faktor luar.
Mengapa lebih sulit, sebab kita masuk ke dalam pemikiran dan keyakinan seseorang ketika menumbuhkan motivasi internal. Bagaimana kita membuat orang tersebut mau melakukan sesuatu karena memang orang itu ingin melakukannya bukan atas imbalan, pujian, gaji, uang dll. Memang susah, tetapi cara yang bisa dilakukan adalah dengan merubah pandangan negatif dari seseorang menjadi pandangan yang lebih positif, dengan catatan orang tersebut memang mau untuk merubah dirinya.
Akan lebih mudah jika kita menumbuhkan motivasi eksternalnya. Caranya dengan memberikan “pandangan ke depan”, tentang apa yang akan ia dapatkan nantinya, seperti ketika ia berhasil, ia akan mendapatkan hadiah, reward, pujian, pangkat, uang, dll. Bahkan kita juga bisa dengan sedikit menakut-nakuti “bukan untuk menjerumuskan”, apa konsekuensi negatif jika orang tersebut tidak melakukannya. Dengan ia mengetahui konsekuensi negatifnya maka diharapkan ia mau melakukannya.
Pengaruh TV terhadap Psikologis.
Perkembangan yang pesat terjadi setelah Perang Dunia II, yakni dengan dibentuknya Joint Committee on Educational Television (JCET) pada tahun 1950-an (Miarso:2004, h 415).
Sepuluh tahun kemudian keluar sejumlah laporan penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh besar penggunaan media TV dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Almstead dan Graf (1960) melakukan penelitian terhadap siswa kelas 10 yang belajar tentang geometri. Mereka disuruh belajar lewat televisi saja, ternyata 85% di antara mereka lulus ujian New York Regent, dan 30% di antaranya mencapai skor lebih dari 90. Hasil itu setara dengan yang dicapai oleh mereka yang belajar di sekolah-sekolah biasa.
Tiga tahun kemudian, laporan yang dikeluarkan Dewan Sekolah Anaheim mempaparkan bahwa uji coba yang dilakukan di California menunjukkan bahwa dari 48 kasus yang diamati sebelum dan sesudah menonton tv, ternyata hasil dari kelompok yang menonton tv jauh lebih baik dibanding yang tidak menonton. Berdasarkan hasil penelitiannya pula, Chu dan Schramm (1967) menyimpulkan bahwa anak-anak dan orang dewasa belajar banyak dari televisi instruksional (Wilkinson: 1984 h.18-22).
Namun menjelang akhir millennium kedua, muncul kritik yang sifatnya mendekonstruksi keyakinan besarnnya pengaruh televisi terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Menurut George Comstock dan timnya seperti dikutip oleh Postman, berdasarkan kajian atas 2.800 hasil studi yang bertopik sekitar pengaruh televisi terhadap tingkah laku, dan kemampuan kognitif, ternyata tidak ditemukan bukti yang mendukung pernyataan bahwa proses belajar dimudahkan jika informasi ditampilkan dalam setting dramatis sebagaimana ditampilkan oleh media tv. Postman bahkan berkesimpulan sangat ekstrim bahwa menonton tv tidaklah memperbaiki proses belajar, dan cenderung kurang mengembangkan kemampuan berpikir dalam tingkat kompleksitas yang tinggi (Postman, opcit. h. 159).
Dalam konteks sekarang, pendapat Postman agaknya yang paling mendekati realitas. Siaran TV memang menyiarkan banyak informasi, namun karena sifatnya hanya sekilas dengar dan pandang maka sedikit pula yang bisa mengendap dalam ingatan khalayak. Khalayak hanya memperoleh informasi secara sepotong-sepotong sehingga sulit untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Realitasnya, siaran tv memang memperkaya kepemilikan informasi pada khalayak, namun teramat sedikit yang bisa dikutip dari siaran TV untuk referensi ilmiah. Hal itu membuktikan rendahnya otoritas program tv sebagai karya ilmiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siaran televisi lebih banyak dipandang sebagai hiburan semata.
Di Indonesia, usaha untuk menyelenggarakan TV pendidikan sudah muncul sejak Repelita I (1969). Akan tetapi langkah konkret baru terlihat pada tahun 1978 dengan dibentuknya Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekomdikbud). Tersendat-sendatnya langkah ke arah itu disebabkan oleh sikap monopolistik TVRI. Pada 23 Nopember 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda menandatangani naskah kerjasama tentang penggunaan teknologi pendidikan, dan salah satu poin pentingnya adalah dukungan pihak kerajaan Belanda bagi Indonesia untuk menyelenggarakan TV pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, pada Mei 1988 berhasil disepakati rencana induk yang meliputi empat kategori kegiatan, yaitu (1) mediated instrucational system; (2) broadcasted Educational Program; (3) Instrucsional and Communication System Reseach; dan (4) Instrucational Development. Akan tetapi belum sampai program tersebut direalisasi sudah muncul inisiatif dari pihak swasta, yakni pengusaha Hardiyanti Rukmana yang lebih dikenal dengan sebutan Mbak Tutut berniat mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sehingga televisi pendidikan yang menjadi program pemerintah justru tidak dapat direalisasi (Miarso: 2004).
Pada awal kemunculannya siaran TPI menggunakan fasilitas pemancar dan frekuensi milik TVRI. Program-program yang ditayangkan pun sebagian besar produksi Pustekomdikbud. Kenyataan itu memang terasa amat janggal mengingat pemerintah sendiri sebenarnya punya rencana mendirikan televisi pendidikan namun realisasinya justru oleh pihak swasta namun menggunakan sumber daya milik negara. Celakanya, dalam perjalanan waktu TPI berbelok arah dan menjadi televisi komersial yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh putri sulung penguasa Orde Baru, Soeharto.
Kegagalan TPI menjaga eksistensi sebagai televisi pendidikan memberikan preseden buruk bagi pihak lain yang ingin mendirikan televisi pendidikan, sekaligus meninggalkan citra negatif bahwa program-program televisi pendidikan sebagai hal yang membosankan dan tidak menarik untuk ditonton. Di tengah melemahnya minat pihak swasta untuk mendirikan televisi swasta, kini pihak Direktorat Jenderal Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia giat merintis penyelenggaraan televisi pendidikan (TVE). Sayangnya, upaya itu tidak didukung oleh payung hukum yang memadai karena UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak memberikan hak hidup bagi televisi pendidikan.
Daftar pustaka
Miarso, Yusufhadi, 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media dan Pustekkom Diknas.
Wilkonson, Gene L, 1984. Media Dalam Pembelajaran Penelitian Selama 60 Tahun (terjemahan), Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali.
Postman, Neil, 1995. Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi (terjemahan), Jakarta: Sinar Harapan.
Ditulis oleh: A.Darmanto, Peneliti di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Wilayah IV, Balitbang Depkominfo
Komunikasi Massa
Apakah definisi komunikasi massa? Apakah facebook yang sedang membahana termasuk sebagai komunikasi massa?” Menurut pemahaman kita selama ini, beberapa komunikasi yang dilakukan melalui media biasanya akan kita analogikan dengan komunikasi massa. Seperti misalnya, public speaking atau orasi, facebook, mailist dan lain sebagainya. Tetapi apakah benar demikian? Definisi Komunikasi Massa Proses penyampaian informasi dari komunikator melalui interaksi melalui media dengan heterogenitas audience dengan jangkauan waktu dan tempat yg variatif (Susanto, 1985). Heterogen dalam hal ini bermakna variatif dalam latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Dengan definisi tersebut maka implikasinya terdapat terminology kata antara kata “massa” dan “komunikasi” dalam komunikasi massa adalah; Karakteristik Komunikasi Massa Efektivitas Komunikasi Massa Daftar Pustaka:
Beberapa ahli menyampaikan definisi komunikasi massa sebagai berikut; Proses penyampaian informasi dari komunikator melalui media massa dengan segmentasi komunikate/ audience yang luas (publik) pada kesempatan yang sama (Burgon & Huffner, 2002).
Menurut Susanto (1985), komunikasi massa mempunyai karakteristik sebagai berikut;
Komunikasi massa yang efektif idealnya memperhatikan hal berikut;
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Susanto, Astrid. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Susanto, Astrid. 1986. Filsafat Komunikasi. Bandung: Bina Cipta
Dampak psikologis HIV AIDS.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiecy syndrome) yang akhirnya akan membawa kematian pada akhirnya. Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara memadai tentang pengertian penyakit HIV/AIDS. Pengetahuan tentang berbagai faktor yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS misalnya, masyarakat umumnya juga kurang mengetahui secara rinci. Masyarakat hanya mengetahui penyebab penyakit HIV/AIDS, yang berasal dari perilaku seksual yang menyimpang. Kosa kata atau istilah yang dipakai masyarakat untuk menyebut perilaku seksual yang menyimpang adalah “suka jajan”, “punya simpanan”, dan hubungan sesame jenis. Sementara itu juga ada yang mneyebut berasal dari alat suntik (yang tercemar virus HIV), dan yang lainnya menyebut tertular dari ibu yang sedang mengandung. Secara teoritis masih banyak kelompok yang beresiko terkena penyakit HIV/AIDS seperti orang yang bekerja ditempat-tempat hiburan, hotel, karaoke, orang yang sering bepergian jauh, dan sebagainya termasukorang yang tinggal di lokalisasi. Sekitar 75-90 % pasien AIDS mengalami patologi otak dengan berbagai sindrome neuropsikiatri, pada 10 % pasien dengan infeksi HIV, komplikasi neuropsikiatri merupakan gejala utama. Pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS dapat ditemukan kelainan-kelainan psikiatri klasik seperti depresi, ansietas, psikosis dan lain-lain. Selain itu juga terdapat dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS. Ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV-nya positif, mereka dikonfrontasikan pada kenyataan bahwa mereka berhadapan dengan suatu keadaan terminal. Kenyataan ini akan memunculkan perasaan shock, penyangkalan, tidak percaya, depresi, kesepian, rasa tak berpengharapan, duka, marah, dan takut. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. Selama tahun-tahun awal di mana belum muncul gejala, stres akan berkurang. Tetapi, dengan berjalannya waktu di mana fungsi imun semakin menurun dan mulai ada tanda-tanda berhubungan dengan HIV seperti ruam-ruam kulit, penurunan berat badan, sesak napas, dan sebagainya, kecemasan serta depresi dapat timbul lagi. Mungkin disertai pula gagasan bunuh diri, gangguan tidur, dan sebagainya. Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang perlu dipertimbangkan dengan menetapkan tujuan terapi sebagai berikut: