Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, tak dapat dinafikkan bahwa media komunikasi berteknologi saat ini sangat berkembang dengan pesat. Mungkin perkembangan teknologi komunikasi ini akan lebih cepat daripada perkembangan teknologi transportasi. Sebagai suatu misal, perkembangan HP, internet, televisi dan teknologi komunikasi lainnya akan lebih cepat daripada perkembangan mobil dan lain sebagainya. Selain adanya kelebihan pada teknologi komunikasi (hi-tech communication) yang telah disinggung pada bagian sebelumnya maka sebenarnya terdapat beberapa dampak psikologis, antaranya; Daftar Pustaka
M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi. Buku Ajar Psikologi Komunikasi – Fakultas Psikologi Unair 2010
Dampak psikologis Teknologi Komunikasi
Mengatasi Efek Reaktif Observasi
Dalam proses observasi tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan efek reaktif. Efek reaktif yang dimaksudkan adalah sebagai situasi yang mana proses atau kejadian yang normal tidak terlihat, oleh karena kehadiran pengamat dari luar. Misalkan karena subjek sadar sedang diobservasi. Beberapa cara untuk mengatasi hal ini adalah
1.Menjadi netral
Usahakan observasi dilakukan dengan cara tanpa melakukan stimulus, sikap ataupun perilaku yang dapat mempengaruhi perilaku normal kecuali pada observasi analog.
2.Posisi diri dari tempat yang diamati
Mengatur posisi diri dalam mengamati dan melakukan pencatatan agar tidak mengganggu dan mempengaruhi perilaku normal dari observe.
3.Perhatian dari satu orang ke yang lain
Hindari bentuk perhatian yang dapat membuat observer menjadi pusat perhatian dari satu orang ke yang lain termasuk observe.
4.Batas nilai stimulus observer
Batasi setiap stimulus-stimulus yang mungkin observer munculkan pada saat proses pengamatan berlangsung agar perilaku normal tidak terpengaruhi oleh stimulus yang observer munculkan.
5.Ikuti semua aturan tempat yang diamati
Selama proses observasi berlangsung, ikutilah segala bentuk peraturan dan kebiasaan dimana tempat tersebut dijadikan tempat pengamatan. Mengikuti aturan dalam setting tempat dapat membuat observer terhindar dari perilaku mencolok yang dapat menimbulkan perilaku normal observe berubah.
6.Perhatikan ketika observer masuk dalam tempat pengamatan
Ketika masuk dalam tempat pengamatan usahakan tidak terlalu mencolok perhatian dari observe di tempat pengamatan. Sehingga kehadiran observer tidak memberikan ketidaknyamanan bagi observe.
Modifikasi Perilaku (Fading)
Fading adalah perubahan secara bertahap dimana sebelum melangkah ke tahap berikutnya maka tahap sebelumnya harus berhasil terlebih dahulu (misalnya, munculnya respon yang diharapkan) dan setiap keberhasilan akan mendapatkan reinforcement; terdapat suatu stimulus yang mengontrol suatu respon, dimana akhirnya akan terdapat stimulus yang berbeda yang akan menghasilkan respon yang sama.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS FADING:
Memilih stimulus akhir yang diinginkan (stimulus yang kita harap dapat menghasilkan perilaku pada bagian akhir dari prosedur fading). Kita harus berhati-hati dalam memilih stimulus ini. Sehingga munculnya respon atas stimulus ini dapat dipertahankan di lingkungan pasien sehari-hari. Salah satu fading yang salah yaitu ketika fading tidak memasukkan aspek-aspek situasi yang sering dijumpai oleh pasien di lingkungannya sehari-hari.
Memilih stimulus awal. Penting untuk memilih stimulus awal, yang secara konstan/reliabel, dapat membangkitkan perilaku yang diinginkan. Stimulus tambahan yang mengontrol perilaku yang diinginkan tetapi bukan merupakan bagian dari stimulus akhir yang diinginkan disebut dengan prompts. Ada berbagai macam prompts, antara lain: verbal prompts, gestural prompts, enviromental prompts, physical prompts. Seorang guru mungkin akan memberikan sebagian atau semua jenis prompt ini untuk memastikan respon yang benar. Memilih beberapa jenis prompt, secara bersamaan, yang secara konstan menghasilkan respon yang diinginkan akan meminimalkan kesalahan dan memperbesar keberhasilan program fading.
Memilih langkah-langkah fading. Penting untuk mengawasi secara dekat performa pelajar untuk menentukan seberapa lama seharusnya fading dilaksanakan.
PEDOMAN PENERAPAN FADING YANG EFEKTIF:
Memilih stimulus akhir yang diinginkan. Tentukan secara jelas stimuli apa yang akan diberikan ketika target perilaku seharusnya muncul.
Memilih penguat yang pantas, memilih stimulus awal dan langkah-langkah fading:
- Menentukan secara jelas kondisi ketika perilaku yang diinginkan terjadi.
- Menentukan secara jelas dimensi-dimensi (misalnya, warna) yang ingin dipudarkan (fade) untuk mencapai stimulus kontrol yang diinginkan.
- Menekankan langkah-langkah fading yang spesifik untuk dipatuhi dan aturan-aturan tentang perpindahan dari suatu tahap ke tahap selanjutnya.
Merencanakan antisipasi kegagalan: Pemudaran (fading) isyarat-isyarat haruslah secara bertahap sehingga kemunculan kesalahan dapat diminimalkan. Jika kesalahan terjadi, kita harus kembali lagi ke langkah sebelumnya dan melakukan beberapa kali latihan serta memberikan prompt-prompt tambahan.
Cara - Cara Membangkitkan Motivasi Diri.
Seringkali rutinitas dan berbagai masalah yang datang silih berganti setiap hari membuat kita kehilangan motivasi untuk mendapatkan yang lebih baik dalam kehidupan. Membuat semua tujuan kita mengabur dan lama-lama menghilang. Kemudian bagaimanakah cara membangkitkan motivasi diri dan meningkatkan motivasi tersebut
Apa yang dimaksud dengan motivasi?
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Motivasi juga merupakan suatu keadaan yang mendorong, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku dalam melakukan sesuatu.
Bagaimana proses terbentuknya motivasi dalam diri seseorang? Jelaskan beserta contoh kasusnya.
Terbentuknya motivasi berasal dari dua jenis, yaitu berasal dari diri sendiri (internal) dan juga berasal dari lingkungan. Motivasi internal adalah motivasi yang muncul dari dalam diri sendiri tanpa ada faktor luar yang mempengaruhi. Motivasi ini lebih menekankan nilai dari kegiatan itu sendiri dari pada penghargaan dari luar. Motivasi internal masih dibagi lagi menjadi dua yaitu, determinasi diri dan pilihan personal. Determinasi disini maksudnya adalah kita melakukan sesuatu karena kita mau melakukannya bukan karena paksaan atau imbalan. Sedangkan pilihan personal adalah kita melakukan sesuatu karena kita merasakan perasaan bahagia dan menyenangkan, kita merasakan kepuasan tersendiri ketika selesai melakukan sesuatu. Motivasi yang muncul dari dalam diri misalnya, kita melakukan suatu pekerjaan karena kita ingin mengembangkan diri dalam bidang pekerjaan tersebut bukan karena faktor luar seperti hukuman dan imbalan.
Berbeda dengan motivasi ekternal yaitu motivasi yang muncul karena dorongan dari luar baik itu berupa hal yang positif seperti imbalan, reward, hadiah, penghargaan dan lain-lain maupun hal yang negatif seperti, hukuman, paksaan dll. Contiohnya kita bekerja karena gaji yang akan kita dapatkan setiap bulannya.
Motivasi yang paling kuat adalah motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang, sebab kita dengan sadar ingin melakukan sesuatu bukan karena imbalan, pujian, hukuman dan lain-lain tetapi karena kita memang menginginkannya.
Apa saja yang bisa mempengaruhi terbentuknya motivasi dalam diri seseorang? (Internal? Eksternal?) penjelasan dan contoh kasusnya.
Sesuatu yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang adalah intensitas sejauh mana faktor internal dan eksternal memberikan dorongan. Semakin kuat dorongan dari dalam maupun dari luar akan memberikan motivasi yang semakin besar bagi seseorang. Seseorang yang bekerja dengan menghasilkan penjualan sebanyak 20 produk akan mendapatkan uang sebesar 500 ribu, ia akan termotivasi untuk menjual lebih jika kompensasinya lebih besar dan lebih besar lagi dari pada sebelumnya.
Adakah manfaat dari sebuah motivasi? contoh kasusnya.
Tanpa motivasi maka seseorang tidak akan melakukan apa-apa, kita makan, minum, bersosialisasi, bekerja, belajar, berhubungan dengan lawan jenis, semua membutuhkan motivasi, baik itu motivasi yang muncul dari dalam diri sendiri maupun karena faktor luar.
Tapi ada kalanya motivasi itu perlahan surut bahkan pada kasus tertentu, hilang sama sekali. Apa yang bisa mempengaruhi berkurang atau bahkan hilangnya motivasi dalam diri seseorang? penjelasan dan contoh kasusnya.
Motivasi dari dalam diri adalah motivasi yang paling kuat bertahan dibandingkan motivasi yang muncul karena faktor eksternal. Mengapa? Sebab faktor luar biasanya berupa imbalan, hadiah, penghargaan dll dan itu mudah berubah. Jika faktor luar tersebut hilang, maka motivasi kita dapat turun dan bahkan hilang sama sekali. Misalnya kita bekerja keras untuk dapat melebihi target yang di tetapkan oleh atasan kita, dengan iming-iming bonus di akhir bulan. Ketika bonus tersebut dihilangkan, kita bisa saja menurunkan produktifitas kerja atau bahkan tidak berniat lagi mengejar penjualan melebihi target yang diberikan.
Lalu jika situasinya memang demikian, adakah tip atau saran khusus yang bisa membangkitkan atau menguatkan motivasi yang mulai menurun tadi? Bagaimana tahapannya? Tolong berikan penjelasan berikut contoh kasusnya.
Mulailah dengan memotivasi diri sendiri, poin paling penting adalah: apa yang sebenarnya anda cari, untuk apa anda melakukannya, dan apa yang anda peroleh dengan melakukannya, tanyakan pertanyaan tersebut pada diri anda. Jika sudah, buatlah itu menjadi tujuan anda dalam melakukan sesuatu. Buatlah sebuah perencanaan untuk mencapai itu, baik perencanaan harian, mingguan atau bahkan bulanan. Jika anda merasakan kesulitan, maka cobalah berpikir alternatif dan mencari dukungan. Bahkan ketika anda berhasil mencapai tujuan anda, berilah kompensasi pada diri anda sendiri, misalnya dengan mentraktir diri sendiri, memuji diri, atau memberikan apresiasi bagi diri anda.
Lalu apa yang harus dihindari agar motivasi kita selalu terjaga dengan baik? Adakah saran-saran khusus?
Motivasi akan terjaga dengan baik jika kita mempertahankan motivasi internal atau motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri, sehingga memunculkan dorongan, semangat, gairah dalam melakukan sesuatu atas inisiatif diri sendiri. Lakukanlah sesuatu yang memang membuat diri kita benar-benar menyukainya, lakukan sesuatu karena kita menginginkannya, bukan karena paksaan, hadiah, imbalan, pujian, penghargaan dan lain-lain.
Lalu bagaimana tip untuk memberi motivasi kepada orang lain yang tidak atau lemah motivasinya? berikan penjelasan.
Memotivasi orang lain bisa dengan dua cara, menumbuhkan motivasi internalnya atau motivasi ekternal. Memotivasi orang secara internal dimana motivasi tersebut tumbuh dari dalam diri orang tersebut, lebih sulit dibandingkan dengan menumbuhkan motivasi yang muncul karena faktor luar.
Mengapa lebih sulit, sebab kita masuk ke dalam pemikiran dan keyakinan seseorang ketika menumbuhkan motivasi internal. Bagaimana kita membuat orang tersebut mau melakukan sesuatu karena memang orang itu ingin melakukannya bukan atas imbalan, pujian, gaji, uang dll. Memang susah, tetapi cara yang bisa dilakukan adalah dengan merubah pandangan negatif dari seseorang menjadi pandangan yang lebih positif, dengan catatan orang tersebut memang mau untuk merubah dirinya.
Akan lebih mudah jika kita menumbuhkan motivasi eksternalnya. Caranya dengan memberikan “pandangan ke depan”, tentang apa yang akan ia dapatkan nantinya, seperti ketika ia berhasil, ia akan mendapatkan hadiah, reward, pujian, pangkat, uang, dll. Bahkan kita juga bisa dengan sedikit menakut-nakuti “bukan untuk menjerumuskan”, apa konsekuensi negatif jika orang tersebut tidak melakukannya. Dengan ia mengetahui konsekuensi negatifnya maka diharapkan ia mau melakukannya.
Pengaruh TV terhadap Psikologis.
Perkembangan yang pesat terjadi setelah Perang Dunia II, yakni dengan dibentuknya Joint Committee on Educational Television (JCET) pada tahun 1950-an (Miarso:2004, h 415).
Sepuluh tahun kemudian keluar sejumlah laporan penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh besar penggunaan media TV dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Almstead dan Graf (1960) melakukan penelitian terhadap siswa kelas 10 yang belajar tentang geometri. Mereka disuruh belajar lewat televisi saja, ternyata 85% di antara mereka lulus ujian New York Regent, dan 30% di antaranya mencapai skor lebih dari 90. Hasil itu setara dengan yang dicapai oleh mereka yang belajar di sekolah-sekolah biasa.
Tiga tahun kemudian, laporan yang dikeluarkan Dewan Sekolah Anaheim mempaparkan bahwa uji coba yang dilakukan di California menunjukkan bahwa dari 48 kasus yang diamati sebelum dan sesudah menonton tv, ternyata hasil dari kelompok yang menonton tv jauh lebih baik dibanding yang tidak menonton. Berdasarkan hasil penelitiannya pula, Chu dan Schramm (1967) menyimpulkan bahwa anak-anak dan orang dewasa belajar banyak dari televisi instruksional (Wilkinson: 1984 h.18-22).
Namun menjelang akhir millennium kedua, muncul kritik yang sifatnya mendekonstruksi keyakinan besarnnya pengaruh televisi terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Menurut George Comstock dan timnya seperti dikutip oleh Postman, berdasarkan kajian atas 2.800 hasil studi yang bertopik sekitar pengaruh televisi terhadap tingkah laku, dan kemampuan kognitif, ternyata tidak ditemukan bukti yang mendukung pernyataan bahwa proses belajar dimudahkan jika informasi ditampilkan dalam setting dramatis sebagaimana ditampilkan oleh media tv. Postman bahkan berkesimpulan sangat ekstrim bahwa menonton tv tidaklah memperbaiki proses belajar, dan cenderung kurang mengembangkan kemampuan berpikir dalam tingkat kompleksitas yang tinggi (Postman, opcit. h. 159).
Dalam konteks sekarang, pendapat Postman agaknya yang paling mendekati realitas. Siaran TV memang menyiarkan banyak informasi, namun karena sifatnya hanya sekilas dengar dan pandang maka sedikit pula yang bisa mengendap dalam ingatan khalayak. Khalayak hanya memperoleh informasi secara sepotong-sepotong sehingga sulit untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Realitasnya, siaran tv memang memperkaya kepemilikan informasi pada khalayak, namun teramat sedikit yang bisa dikutip dari siaran TV untuk referensi ilmiah. Hal itu membuktikan rendahnya otoritas program tv sebagai karya ilmiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siaran televisi lebih banyak dipandang sebagai hiburan semata.
Di Indonesia, usaha untuk menyelenggarakan TV pendidikan sudah muncul sejak Repelita I (1969). Akan tetapi langkah konkret baru terlihat pada tahun 1978 dengan dibentuknya Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekomdikbud). Tersendat-sendatnya langkah ke arah itu disebabkan oleh sikap monopolistik TVRI. Pada 23 Nopember 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda menandatangani naskah kerjasama tentang penggunaan teknologi pendidikan, dan salah satu poin pentingnya adalah dukungan pihak kerajaan Belanda bagi Indonesia untuk menyelenggarakan TV pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, pada Mei 1988 berhasil disepakati rencana induk yang meliputi empat kategori kegiatan, yaitu (1) mediated instrucational system; (2) broadcasted Educational Program; (3) Instrucsional and Communication System Reseach; dan (4) Instrucational Development. Akan tetapi belum sampai program tersebut direalisasi sudah muncul inisiatif dari pihak swasta, yakni pengusaha Hardiyanti Rukmana yang lebih dikenal dengan sebutan Mbak Tutut berniat mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sehingga televisi pendidikan yang menjadi program pemerintah justru tidak dapat direalisasi (Miarso: 2004).
Pada awal kemunculannya siaran TPI menggunakan fasilitas pemancar dan frekuensi milik TVRI. Program-program yang ditayangkan pun sebagian besar produksi Pustekomdikbud. Kenyataan itu memang terasa amat janggal mengingat pemerintah sendiri sebenarnya punya rencana mendirikan televisi pendidikan namun realisasinya justru oleh pihak swasta namun menggunakan sumber daya milik negara. Celakanya, dalam perjalanan waktu TPI berbelok arah dan menjadi televisi komersial yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh putri sulung penguasa Orde Baru, Soeharto.
Kegagalan TPI menjaga eksistensi sebagai televisi pendidikan memberikan preseden buruk bagi pihak lain yang ingin mendirikan televisi pendidikan, sekaligus meninggalkan citra negatif bahwa program-program televisi pendidikan sebagai hal yang membosankan dan tidak menarik untuk ditonton. Di tengah melemahnya minat pihak swasta untuk mendirikan televisi swasta, kini pihak Direktorat Jenderal Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia giat merintis penyelenggaraan televisi pendidikan (TVE). Sayangnya, upaya itu tidak didukung oleh payung hukum yang memadai karena UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak memberikan hak hidup bagi televisi pendidikan.
Daftar pustaka
Miarso, Yusufhadi, 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media dan Pustekkom Diknas.
Wilkonson, Gene L, 1984. Media Dalam Pembelajaran Penelitian Selama 60 Tahun (terjemahan), Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali.
Postman, Neil, 1995. Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi (terjemahan), Jakarta: Sinar Harapan.
Ditulis oleh: A.Darmanto, Peneliti di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Wilayah IV, Balitbang Depkominfo
Komunikasi Massa
Apakah definisi komunikasi massa? Apakah facebook yang sedang membahana termasuk sebagai komunikasi massa?” Menurut pemahaman kita selama ini, beberapa komunikasi yang dilakukan melalui media biasanya akan kita analogikan dengan komunikasi massa. Seperti misalnya, public speaking atau orasi, facebook, mailist dan lain sebagainya. Tetapi apakah benar demikian? Definisi Komunikasi Massa Proses penyampaian informasi dari komunikator melalui interaksi melalui media dengan heterogenitas audience dengan jangkauan waktu dan tempat yg variatif (Susanto, 1985). Heterogen dalam hal ini bermakna variatif dalam latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Dengan definisi tersebut maka implikasinya terdapat terminology kata antara kata “massa” dan “komunikasi” dalam komunikasi massa adalah; Karakteristik Komunikasi Massa Efektivitas Komunikasi Massa Daftar Pustaka:
Beberapa ahli menyampaikan definisi komunikasi massa sebagai berikut; Proses penyampaian informasi dari komunikator melalui media massa dengan segmentasi komunikate/ audience yang luas (publik) pada kesempatan yang sama (Burgon & Huffner, 2002).
Menurut Susanto (1985), komunikasi massa mempunyai karakteristik sebagai berikut;
Komunikasi massa yang efektif idealnya memperhatikan hal berikut;
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Susanto, Astrid. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Susanto, Astrid. 1986. Filsafat Komunikasi. Bandung: Bina Cipta
Dampak psikologis HIV AIDS.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiecy syndrome) yang akhirnya akan membawa kematian pada akhirnya. Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara memadai tentang pengertian penyakit HIV/AIDS. Pengetahuan tentang berbagai faktor yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS misalnya, masyarakat umumnya juga kurang mengetahui secara rinci. Masyarakat hanya mengetahui penyebab penyakit HIV/AIDS, yang berasal dari perilaku seksual yang menyimpang. Kosa kata atau istilah yang dipakai masyarakat untuk menyebut perilaku seksual yang menyimpang adalah “suka jajan”, “punya simpanan”, dan hubungan sesame jenis. Sementara itu juga ada yang mneyebut berasal dari alat suntik (yang tercemar virus HIV), dan yang lainnya menyebut tertular dari ibu yang sedang mengandung. Secara teoritis masih banyak kelompok yang beresiko terkena penyakit HIV/AIDS seperti orang yang bekerja ditempat-tempat hiburan, hotel, karaoke, orang yang sering bepergian jauh, dan sebagainya termasukorang yang tinggal di lokalisasi. Sekitar 75-90 % pasien AIDS mengalami patologi otak dengan berbagai sindrome neuropsikiatri, pada 10 % pasien dengan infeksi HIV, komplikasi neuropsikiatri merupakan gejala utama. Pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS dapat ditemukan kelainan-kelainan psikiatri klasik seperti depresi, ansietas, psikosis dan lain-lain. Selain itu juga terdapat dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS. Ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV-nya positif, mereka dikonfrontasikan pada kenyataan bahwa mereka berhadapan dengan suatu keadaan terminal. Kenyataan ini akan memunculkan perasaan shock, penyangkalan, tidak percaya, depresi, kesepian, rasa tak berpengharapan, duka, marah, dan takut. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. Selama tahun-tahun awal di mana belum muncul gejala, stres akan berkurang. Tetapi, dengan berjalannya waktu di mana fungsi imun semakin menurun dan mulai ada tanda-tanda berhubungan dengan HIV seperti ruam-ruam kulit, penurunan berat badan, sesak napas, dan sebagainya, kecemasan serta depresi dapat timbul lagi. Mungkin disertai pula gagasan bunuh diri, gangguan tidur, dan sebagainya. Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang perlu dipertimbangkan dengan menetapkan tujuan terapi sebagai berikut:
Definisi Kecemasan.
Lazarus (1969), kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan di ikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia mengalami kecemasan. The New Encyclopedia Britannica (1990) kecemasan atau anxiety adalah suatu perasaan takut, kekuatiran atau kecemasan yang seringkali terjadi tanpa ada penyebab yang jelas. Kecemasan dibedakan dari rasa takut yang sebenarnya, rasa takut itu timbul karena penyebab yang jelas dan adanya fakta-fakta atau keadaan yang benar-benar membahayakan, sedangkan kecemasan timbul karena respon terhadap situasi yang kelihatannya tidak menakutkan, atau bisa juga dikatakan sebagai hasil dari rekaan, rekaan pikiran sendiri (praduga sbuyektif), dan juga suatu prasangka pribadi yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan. Pendekatan-pendekatan kecemasan : Sue (dalam Herber dan Runyon, 1984) membagi kecemasan dalam empat cara, yaitu : Tipe Kecemasan : Freud (dalam Suryabrata, 1982), membagi kecemasan berdasarkan sumbernya : Freud (Hillgrad & Atkinson, 1979), membagi kecemasan menjadi dua bagian :
Definisi Kecemasan.
Lazarus (1969), kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan di ikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subjektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia mengalami kecemasan. The New Encyclopedia Britannica (1990) kecemasan atau anxiety adalah suatu perasaan takut, kekuatiran atau kecemasan yang seringkali terjadi tanpa ada penyebab yang jelas. Kecemasan dibedakan dari rasa takut yang sebenarnya, rasa takut itu timbul karena penyebab yang jelas dan adanya fakta-fakta atau keadaan yang benar-benar membahayakan, sedangkan kecemasan timbul karena respon terhadap situasi yang kelihatannya tidak menakutkan, atau bisa juga dikatakan sebagai hasil dari rekaan, rekaan pikiran sendiri (praduga sbuyektif), dan juga suatu prasangka pribadi yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan. Pendekatan-pendekatan kecemasan : Sue (dalam Herber dan Runyon, 1984) membagi kecemasan dalam empat cara, yaitu : Tipe Kecemasan : Freud (dalam Suryabrata, 1982), membagi kecemasan berdasarkan sumbernya : Freud (Hillgrad & Atkinson, 1979), membagi kecemasan menjadi dua bagian :
Kritik Teori Psikologi.
Kalau kita amati sepintas teori-teori psikologi kontemporer yang tersedia di dunia akademik kita, boleh jadi akan timbul kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Kesan ini akan membawa sikap lanjutan, yaitu bahwa yang penting untuk kita lakukan adalah sekedar menerimanya dan mengoperasikannya di lapangan. Akan tetapi, jika teori-teori itu kita cermati secara kritis, sangat boleh jadi kesan baik tersebut akan buyar.
Kritisisme – kiranya kita semua sepakat – sangat diperlukan agar suatu karya budaya apapun, termasuk psikologi, menjadi dinamik: tumbuh dan berkembang menuju penyehatan dan penyempurnaan. Lebih-lebih lagi bagi kita, masyarakat akademik negara dunia ketiga, sikap kritis bukan saja akan mengantarkan kita menjadi konsumen ilmu yang baik, akan tetapi juga menjadi prasyarat utama bagi tumbuhnya kreativitas penciptaan teori-teori baru (theoriebuilding) atau bahkan teori-teori psikologi berparadigma baru. Relevansi dan urgensi untuk hal yang disebut terakhir itu kiranya jelas dengan sendirinya, yaitu mengingat psikologi adalah ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, yakni menyangkut pemahaman dan perlakuan terhadap kehidupan kejiwaan manusia. Sementara kita tahu, bahwa psikologi yang kita hadapi saat ini adalah psikologi Barat dengan segala muatan nilai-nilai kulturalnya.
Berikut ini kita akan dicoba-kemukakan kritik teori psikologi atau kritik terhadap teori-teori psikologi, yang akan meliputi kritik empiris, kritik epistemologis, dan kritik ideologis.
Kritik teori ini diharapkan dapat menyingkap cacat-cacat sistemik yang melekat pada (beberapa) teori psikologi. Dengan kritisisme ini, dan selanjutnya dengan tetap memelihara sikap arif, yakni tetap mengapresiasi dan memanfaatkan (apa yang kita anggap sebagai) kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam psikologi Barat tersebut, diharapkan akan memunculkan sikap progresif. Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan upaya-upaya inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi alternatif yang lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang diharapkan dapat memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan memanusiawikan peradaban, dan yang integratif dengan pandangan ideologis kita.
Kritik Empiris
Teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting budaya yang berbeda dari budaya asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga terhadap konsep-konsep yang mendasari teori tersebut, dan metode penerapan teori tersebut.
Untuk contoh kritik empiris ini dapat dikemukakan temuan antropolog Margaret Mead (1928) di masyarakat Samoa, yaitu bahwa anak-anak remaja Samoa ternyata tidak mengalami apa yang dikenal sebagai storm and stress dalam masa perkembangan mereka. Padahal konsep storm and stress yang merupakan hasil temuan pada anak-anak remaja di Amerika Serikat waktu itu dianggap sebagai konsep yang universal, berlaku di mana saja. Kultur di Samoa, rupanya berbeda dengan di Amerika, memungkinkan masa remaja – yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa – berlangsung secara mulus saja, tanpa storm and stress.
Contoh lain adalah temuan antropolog Ruth Benedict, bahwa dorongan berkompetisi yang oleh para ahli psikologi semula dianggap sebagai insting, dus bersifat universal, ternyata juga sangat tergantung pada sistem kebudayaan. Pada masyarakat suku Indian Zuni ternyata tidak ditemukan adanya semangat kompetisi. Yang ada adalah semangat untuk selalu membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Di sana masyarakat tidak melihat perlunya bersaing untuk mengalahkan orang lain. Demikian juga pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo.
Contoh lain lagi adalah kritik empiris terhadap konsep-konsep psikoanalisa (Sigmund Freud) dan teori-teori yang mendasarkan diri pada konsep-konsep tersebut. Betapapun kaburnya konsep-konsep psikoanalisa tersebut, sejumlah ahli telah berhasil melakukan studi empirik yang dalam keseluruhan hasilnya ternyata menyangkal kebenaran konsep-konsep dan teori-teori itu. Branislav Malinowski (1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan konflik oedipal di antara penduduk pulau Torbiand. Prothro (1961) dalam studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon memperoleh bukti bahwa karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training seperti yang diteorikan Freud. Dan, Victor E. Frankl (1964) lewat serangkaian penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa tak ada hubungan antara citra ayah positif dangan keyakinan agama seseorang dan sikapnya terhadap Tuhan.
Kritik Epistemologis
Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan. Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat, jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada tahap mana pengetahuan yang dapat dianggap manusia (Sahakin & Sahakin, 1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.
Karena semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap konsep-konsep yang mendasari suatu teori.
Berikut ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan grafik-kurva-normal adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan: siapakah yang normal dan siapakah yang abnormal secara psikologis? Berdasarkan konsep ini disimpulkan bahwa orang-orang yang normal adalah orang-orang yang berperilaku psikologis sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah yang terkumpul di tengah grafik yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti ini mengandung kesulitan logis, dikarenakan konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai orang-orang abnormal, sama seperti orang-orang sub-normal yang mengalami gangguan emosional gawat atau orang-orang neurotik.
Norma lain, dari sudut pandangan kultural, konsep keabnormalan jauh lebih kabur lagi. Ini disebabkan karena pandangan tersebut memberikan kewenangan menimbang kenormalan dan keabnormalan seseorang pada lingkungan sosio-kultural orang tersebut. Karena itu tingkah laku yang dianggap abnormal pada suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu, bisa saja dianggap normal jika orang itu pindah ke kelompok lain. Malik B. Badri (1986) memberi contoh sebuah adat istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang sangat “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu, psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin akan menganggap pengatin pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Si pengantin pria akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya dengan disakiti.
Kritik Ideologis
Kritik ideologis bertujuan menyingkap dan mengungkap segi-segi ideologis, nilai-nilai, pandangan-pandangan dasar tentang manusia dan semesta yang mendasari atau menyusup dalam suatu teori atau juga ikut membonceng dalam penerapan suatu teori.
Anggapan bahwa ilmu tidak memberikan penilaian (evaluation), tapi hanya mau mengemukakan fakta apa adanya dengan cara objektif sebagaimana yang bisa disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris, telah disangkal keras oleh Gunnar Myrdal (1969). Dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindarkan adanya suatu unsur apriori. Oleh sebab itu, unsur-unsur apriori yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari suatu teori hendaknya tidak disembunyikan, melainkan harus dirumuskan dengan jelas agar dapat secara terbuka didiskusikan. Jelaslah bahwa fakta-fakta tidak mengoganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Fakta-fakta dapat diorganisasi menjadi konsep atau teori hanya setelah diolah dengan menggunakan kerangka konseptual tertentu yang tentunya sudah ada dalam benak sang teoritisi atau dipilih secara apriori. Bahkan apa yang dinamakan fakta-fakta ilmiah pun hanya akan tampak jika dilihat dengan kerangka gagasan atau teori tertentu yang tentunya dipilih secara subjektif, dan tidak tampak kalau kita memakai kerangka gagasan atau teori yang lain. Bagi orang yang hanya percaya pada empirisme, misalnya, adalah berarti ia sudah berpihak kepada empirisme dan tidak pada intuisionalisme. Dus, sudah tidak netral lagi. Maka bagi seorang empiristik, objektivitas sudah diredusir maknanya menjadi kepastian empiris belaka (Myrdal,1969).
Jadi, seorang psikolog yang memandang manusia sebagai seekor binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya “di sini dan saat ini” (here and now), dengan sendirinya – dalam hal ini, setidak-tidaknya – berpandangan atheis. Manusia dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan kerinduan terhadap hal-hal yang tinggi dan metafisis sifatnya. B.F. Skinner yang dengan tegar tidak mau mengakui adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku manusia, dan yang memandang manusia bagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler, 1981), maka tentunya di dalam sistem psikologinya berkonsekuensi menonsenskan tanggung jawab manusia. Kenapa manusia harus bertanggung jawab jika ia tidak lebih dari mesin yang bertingkah laku semata atas dasar stimulus-respons? Sama pula dalam psikoanalisa Freud, pertanggungjawaban mustahil diminta karena manusia hanyalah binatang yang bergerak atas dorongan insting: eros dan thanatos. Memang, psikoanalisa tidak terlepas dari pandangan Freud bahwa konsep Tuhan tidak lain adalah sebuah delusi ciptaan manusia. Dan, Freud menyesali kenapa manusia masih menyembah apa yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan masa kecil. Begitulah, dalam pandangan psikologi tadi, manusia hanyalah sekedar makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang menautkan manusia dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA:
Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati),
Jakarta: Penerbit Firdaus, 1986
Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions,
Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book
Company, 1981
Myrdal, Gunnar, Objectivity in Social Research, New York: Pantheon Books,
1969
Sahakin, William S. & Sahakin, Mabel L., Realm of Philosophy, Cambridge:
Schenkman, 1965
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984
(Dimuat di majalah ilmiah “Kalam”, Yogyakarta, nomor 5 vol. III tahun 1993; kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”,
editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994)
Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran - Kajian Hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir
“ To give a child an idea of scarlet or orange, of sweet or bitter, I present the objects, or in other words, convey to him these impressions; but proceed not so absurdly, as to endeavor to produce the impressions by exciting the ideas.” (David Hume)
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998).
Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannnya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer, menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka (Sumaryono, 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Hubungan antara bahasa dan pikiran adalah sebuah tema yang sangat menantang dalam dunia kajian psikologi. Sejarah kajian ini dapat ditilik dari psikolog kognitif, filosof dan ahli linguistik. Hipotesis Whorf dan Sapir menyajikan sesuatu yang sangat menantang untuk ditelaah lebih lanjut. Beberapa aspek bahasan yang mempengaruhi pikiran perlu diidentifikasi lebih lanjut, misalnya identifikasi aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran ruang bidang (reasoning spatial) dan aspek bahasa yang mempengaruhi penalaran terhadap pikiran lain (reasoning about other minds).
A. Selintas Konsep Saphir-Whorf tentang Bahasa dan Pikiran
When I think in language, there aren’t ‘meanings’ going through my mind in addition to the verbal expressions: the language is itself the vehicle of thought.” - Ludwig Wittgenstein
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran.
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :
“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting…(Whorf dalam Chandler, 2000)
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).
B. Dukungan terhadap Konsep Saphir-Whorf
“The fact of the matter is that the 'real world' is to a large extent unconsciously built upon the language habits of the group” - Edward Saphir
Hipotesis Sapir dan Worf didukung oleh beberapa temuan penelitian terutama dalam bidang antropologi. Seorang antropologis bernama Lucy menulis mengenai perbedaan bahasa yang berkaitan dengan aktifitas perseptual. Sebagai contoh, dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Language relativistics melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari aktifitas mental, seperti kategorisasi, ingatan dan pengambilan keputusan. Jika asumsi ini benar maka studi tentang bahasa mengarah pada perbedaan pikiran yang diakibatkan sistem tersebut. Di samping bahasa merefleksikan perkembangan kognitif, bahasa mempengaruhi akuisisi bahasa dan juga memiliki memberikan potensi pada transformasi kognitif.
Lucy mencoba menengahi pertentangan yang ada dengan memberikan beberapa petunjuk apabila seorang peneliti hendak mengkaji relativitas bahasa. Peneliti harus mengidentifikasi performansi kognitif individu yang beriringan dengan konteks verbal secara eksplisit (explicitly verbal contexts) dan menekankan pada struktur kognitif individu yang dideteksi yang ditunjukkan dalam perilaku keseharian. Melalui pandangan ini secara tidak langsung, Lucy telah melihat bahwa kognisi adalah sekumpulan konsep dan prosedur yang hadir dalam aktifitas individu yang berkaitan dengan perilaku verbal seperti berkata, mendengar dan berpikir secara verbal.
Penggunaan konteks dalam pengkajian bahasa ini mendapat dukungan dari Gumperz dan Levinson, yang melalui tulisannya dengan judul rethinking linguistic relativity mencatat pentingnya theories of use in context yang memuat teori semantik formal yang berkaitan dengan situasi semantik, discourse representation theory dan teori pragmatis yang memuat relevance theory dan gricean theories. Hipotesis Whorf juga didukung oleh Olson (1983) yang melihat bahwa kategori perseptual dan struktur kognitif individu merefleksikan dunia pengalaman. Sebuah peristiwa selalu dipersepsi dan dikategorisasi secara relatif tergantung pada konteksnya.
Berkaitan dengan kata-kata emosi, Levi (1973, dalam Wierzbicka, 1995) melalui studinya di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada kesamaan antara perasaan buruk (bad feelings) dalam pemahaman orang Tahiti dengan kata sedih (sad) dalam kosa kata Bahasa Inggris. Orang Tahiti lebih menonjolkan perasaan mo’emo’e (sebuah perasaan kesepian dan kesendirian) daripada rasa sedih yang oleh kosa kata Inggris dinamakan dengan sad. Levi menambahkan bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat merasakan mo’emo’e dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa merasakan sad, tetapi menandakan bahwa kedua perasaan itu mempunyai status yang berbeda sehingga tidak dapat diparalelkan. Jika perasaan buruk (bad feeling) bagi orang Inggris adalah sad, maka bagi orang Tahiti adalah mo’emo’e.
Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Melalui paparan di muka dapat diuraikan beberapa derivasi dari pengaruh bahasa terhadap pikiran manusia. Derivasi tersebut tercermin dari beberapa pernyataan beberapa ahli antara lain :
1. Language creates awareness (Macphail, Dennett)
2. Language creates self-consciousness (Edelman)
3. Language creates structures of thought and symbolic representation (Vygotsky, Tomasello)
4. Language serves as one possible cue for memory (Lucy, Pedersen)
5. Language provides “Thinking for speaking” (Slobin, 2003)
D. Beberapa Keberatan terhadap Konsep Saphir-Whorf
Konsep Sapir dan Whorf mengudang beberapa keberatan di kalangan ahli bahasa dan peneliti psikolinguistik. Dasar yang dipakai sebagai bentuk keberatan tersebut adalah bahwa pikiran yang sama dapat diekspresikan dalam beberapa cara. Manusia dapat mengatakan apa saja yang dimauinya dalam sebuah bahasa sehingga antara satu bahasa dengan bahasa lainnya memiliki karakter yang paralel.
Salah satu fakta yang dipaparkan untuk menunjukkan keberatan ini adalah dalam bidang perkembangan. Beberapa kasus di kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa bayi yang belum memiliki bahasa secara optimal sudah mampu menalar lebih dari hal-hal yang menarik bagi mereka. Misalnya usia 3-4 bulan bayi dapat memahami jarak dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan jarak. Usia 5 bulan bayi sudah mampu menalar aritmatika sederhana. Setelah sebelumnya bayi diperlihatkan dua buah objek di tangan, mereka mencoba mencari dua objek tersebut ketika dua objek tersebut disembunyikan.
Bukti kedua yang menunjukkan bahwa manusia dapat berpikir meski tanpa menggunakan bahasa adalah kasus anak-anak tuna rungu yang tidak mampu memahami struktur simbol bahasa. Anak-anak ini dapat menemukan isyarat dan gerak mereka sendiri untuk mengkomunikasikan pikiran dan keinginan mereka. Bukti ketiga adalah kasus penggunaan mental image yang diperagakan oleh beberapa individu. Seniman dalam bidang visual memiliki kemampuan menalar yang dapat disejajarkan dengan penulis ataupun ilmuwan. Francis Cricks dengan berpikir secara visual mampu menemukan struktur double helix DNA, Albert Einstein yang terkenal dengan penalar visual (visual thinker) mampu menelurkan rumus-rumus fisika yang spektakuler.
Kontroversi tentang pendapat Whorf juga diarahkan pada contoh yang dikemukakan, misalnya salju. Orang Eskimo hidup di tengah-tengah salju sehingga mereka memiliki banyak kata tentang salju. Unta sangat penting bagi orang Arab sehingga mereka memiliki banyak cadangan kosa kata dalam menggambarkan unta. Bahasa dikembangkan sesuai dengan tantangan kultural dan tidak benar bahwa manusia tidak dapat membedakan beberapa objek persepsi karena tidak ada kata yang mampu menggambarkannya. Walaupun dalam bahasa ada hanya menggunakan kata ‘dia’ akan tetapi orang Indonesia juga memahami arti ‘he’ dan ’she’ dalam Bahasa Inggris (Rakhmat, 1999).
Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecakan persoalan dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menyandi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Sementara sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa bahasa adalah objek sosial yang berdiri di atas kesepakatan untuk memudahkan adanya komunikasi, Chomsky (dalam Ludlow, 2000) memiliki konsep yang berbeda. Menurutnya bahasa “a natural object that is part of human biological endowment”. Bahasa adalah objek natural yang merupakan bagian dari kelebihan yang dimiliki manusia. Bahasa bagi Chomsky adalah cerminan dari pikiran dan produk dari kecerdasan manusia. Dengan memahami properti bahasa alami seperti struktur, organisasi, dan tata cara penggunaannya peneliti akan dapat memahami karakteristik manusia secara alami (human nature). Pandangan Chomsky ini selain bertentangan dengan pandangan Skiner mengenai proses akuisisi bahasa pada anak, juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dengan adanya hal-hal yang bersifat bawaan maka secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak memiliki keterkaitan dengan pikiran.
Konsep Paul Kay mengenai bahasa secara tidak langsung juga berseberangan dengan konsep Sapir dan Whorf. Dikatakan olehnya bahwa perbedaan mengekspresikan fenomena dan objek dalam bahasa yang berbeda tidak berarti menunjukkan perbedaan dalam konsep. Untuk memahami relatifitas bahasa, individu menyadari layaknya menterjemahkan bahasa bahwa ada beberapa skema alternatif yang ada di dalam bahasa dan individu pemakai bahasa tersebut. (Jaszczolt, 2001).
Beberapa ahli melihat bahwa language relativistics kurang memiliki dukungan secara ilmiah, karena belum ada penelitian yang membuktikan keterkaitan tersebut (Schlenker, 2004). Menurut Schlenker (2004), manusia tidak secara eksak menggunakan kata-kata dalam berpikir (think in world), karena jika menggunakan manusia berpikir dengan menggunakan kata-kata maka pasien yang memiliki keterbatasan bahasa (language deficits) otomatis akan mengalami hambatan dalam berpikir. Bahasa verbal dan pikiran memiliki perbedaan secara prinsip. Namun demikian ini tidak berarti bahwa pikiran bukan sistem yang memanipulasi simbol dalam bahasa. Sebagai contoh, konsep computational model of the mind memperlihatkan bahwa pikiran dapat dianalogikan dengan komputer yang mampu memanipulasi simbol abstrak.
E. Tinjauan terhadap Konsep Whorf dan Sapir
Hipotesis Whorf dan Sapir tidak dapat dilepaskan dari apa yang diartikan oleh mereka sebagai bahasa. Melalui struktur terkecil dari bahasa yaitu kata-kata akan dapat diketahui bahwa bahasa dapat mempengaruhi pikiran individu. Berikut ini akan dipaparkan beberapa pengertian dari kata yang memungkinkan kata dapat berkaitan dengan pikiran manusia. Pertama, kata sebagai simbol (words as symbols). Kata sebagai simbol berarti kata lebih mewakili suatu objek daripada dirinya sendiri. Hubungan antara kata dan simbol ini dibangun oleh konvensi sosial dalam sebuah budaya. Kedua, kata sebagai atribut objek (words as attribute). Kata dan objek adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Piaget dan Vigotsky melaporkan bahwa penerimaan anak-anak terhadap nama sebuah objek tidak dapat dibedakan lagi. Bagi mereka nama meja atau kursi adalah bagian dari objek meja. Kata dan objek yang diatribusikan adalah satu bagian. Kata meja menjadi milik sebuah meja. Ketiga, kata sebagai objek (words as object). Kata-kata adalah bagian dari dunia manusia. Kata diterima sebagai sesuatu yang dalam dalam pikiran. Ketika individu mendengar sebuah kata terucap, ia akan mereaksi ucapan ini dengan berpikir objek itu ada di dalam dunia nyatanya. Kata-kata adalah bagian dari bahasa yang digunakan oleh manusia untuk menerima, mengolah, serta menyampaikan informasi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia selalu menggunakan media bahasa. Manusia tidak mungkin melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa dalam hal ini direpresentasikan dalam kata-kata (Sumaryono, 1993).
Pikiran, bahasa, dan budaya memiliki keterkaitan yang sangat erat, masing-masing konstrak tersebut mencerminkan satu konstrak yang lain (Frawley dalam Forrester, 1996). Keterkaitan antara bahasa dan budaya terletak pada asumsi bahwa setiap budaya telah memilih jalannya sendiri-sendiri dalam menentukan apa yang harus dipisahkan dan apa harus diperhatikan untuk memberi nama pada realitas (Goldschmidt, 1960). Di sisi yang lain, keterkaitan antara bahasa dan pikiran terletak pada asumsi bahwa bahasa mempengaruhi cara pandang manusia terhadap dunia, serta mempengaruhi pikiran individu pemakai bahasa tersebut (Whorf dalam Rakhmat, 2000). Keterkaitan antara bahasa dan pikiran dimungkinkan karena berpikir adalah upaya untuk mengasosiasikan kata atau konsep untuk mendapatkan satu kesimpulan melalui media bahasa. Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
Kata-kata adalah bentuk pemberian pakaian pada realita faktual yang terjadi secara nyata. Pemberian ini dipengaruhi oleh faktor subjektifitas kebudayaan dan individu. Subjektifitas ini terlihat ketika manusia dari latar belakang yang berbeda memotong realita menurut kehendaknya sendiri. Manusia memotong dunia realitas dan mengklasifikasikan ke dalam kategori yang sama sekali berbeda berdasarkan prinsip yang sama sekali berbeda dalam tiap budaya. Kata Inggris, misalnya table (meja), meskipun bentuknya bundar atau persegi, di dalam pikiran orang Inggris menyatakan bahwa kedua benda tersebut esensinya merupakan satu dan sama karena melayani fungsi yang sama. Orang non Indo-Eropa tidaklah memotong realitas berdasarkan fungsinya, melainkan pada bentuk dasarnya: bundar, persegi, padat, atau cair. Bagi orang non Indo-Eropa kriteria tentang bentuk dan rupa adalah pasti, dalam menentukan apakah sebuah benda itu menjadi milik kategori ini atau kategori atau. Di mata masyarakat ini, meja bundar dan meja persegi adalah dua benda yang sama sekali berbeda sehingga harus ditunjukkan dengan nama yang berbeda pula.
Bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata adalah representasi realitas. Untuk menyimbolkannya dalam bentuk kata-kata manusia memotong dunia realitas dan mengklasifikasikannya ke dalam kategori yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Cara yang digunakan oleh tiap budaya dalam memotong realitas adalah dengan subjektif (arbitrary) seperti halnya memotong sebuah kue sehingga fenomena ini terkenal dengan nama cookie cutter effect (Albrecht, 1986).
Seorang ahli antropologi yang sedang mencoba mencacah jumlah penduduk sebuah suku di pedalaman Afrika. Ia bertanya kepada salah seorang penduduk di sana. “Berapa anak laki-laki ibu?”. “Dua” jawab sang ibu. Sang antropolog itu kemudian terkejut karena sebelumnya ia bertanya kepada suaminya, yang menjawab bahwa anaknya berjumlah tiga orang. Peneliti menemukan bahwa anak bagi penduduk di sana, adalah keturunan mereka yang berjenis kelamin sama dengan mereka. Ketika sang antropolog mengumpulkan mereka berdua kemudian bertanya berapa jumlah anak laki-laki dan perempuan mereka, mereka menjawab sembilan. Tak kalah dengan keterkejutan yang pertama, antropolog itu menemukan bahwa bagi suku tersebut, anak mereka yang telah meninggal dunia juga mereka masukkan dalam hitungan. Anak mereka yang telah meninggal harus tetap diperkenalkan kepada orang yang bertanya jumlah anak mereka (Albrecht, 1986). Peristiwa di atas merupakan salah satu bukti bahwa sebuah kebudayaan mempunyai cara sendiri dalam mengkategorikan realitas.
Setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam memilih satu wilayah tertentu dari keseluruhan realitas untuk diwujudkan dalam sebuah kata-kata. Aktifitas ini kemudian paralel dengan konsep kategorisasi yang dilibatkan dalam hipotesis linguistic determinism melalui apa yang dinamakan dengan frame of reference. Frame of reference adalah sebuah sistem yang membantu manusia mengklasifikasikan objek.
E. Implikasi Konsep Saphir-Whorf
Lepas dari kontradiksi pendapat mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran, bahasa memang mempunyai pengaruh atas pengalaman manusia. Bahasa memberikan pandangan perseptual dan sekaligus memaksakan pandangan konseptual tertentu. Bahasa memaksakan pandangan perseptual manusia karena bahasa adalah kaca mata yang dipakai untuk melihat realitas. Manusia sama saja dengan orang yang buta yang tak mampu mengenali realita semanusiar ketika manusia manusia memiliki bahasa.
1. Fenomenologi.
Bukti keterkaitan antara bahasa dan pikiran dapat dilihat pada kasus beberapa orang fenomenolog. Dengan berbahasa yang fasih yang didukung dengan penguasaan kosa kata yang baik maka mereka dapat berargumentasi dengan baik pula. Oleh karena itu mengapa ahli-ahli besar dalam bidang fenomenologi juga terkenal sebagai ahli bahasa, penulis novel, puisi, serta artikel. Jean Paul Sartre, Leo Tolstoy, Martin Heidegger, adalah contohnya. Ketika para peneliti sibuk dengan penjelasan statistika sebagai bukti teorinya, orang-orang ini menggunakan media bahasa untuk menjelaskan teorinya. Para fenomenolog telah langsung masuk ke dalam realitas dan mengambarkan apa yang dapat mereka kenali. Banyak yang mereka kenali dari realitas itu karena mereka mempunyai kosa kata yang banyak. Dalam kasus CAT, penguasaan bahasa seorang anak menjadi faktor yang berpengaruh, jika yang dikenali hanyalah gambar kuda, maka ia hanya menyebut gambar kuda. Jika kartu CAT itu diberikan kepada Sartre maka tidak hanya kuda, pigura, kalung, sampai tatapan mata kuda, ekspresi wajahnya, dan posisi tubuh kuda mungkin ikut diceritakan.
Bahasa memberikan satu nuansa tertentu pada sebuah ide (Valsiner, 1996). Bahasa adalah instrumen yang membentuk dan membangun ide kreatif dari pikiran. Melalui bahasa ide menjadi objektif. Yang semula ia berada di awan-awan angan-angan, ide menjadi konkret dan turun ke bumi. Sekali individu memberikan bentuk berupa kata-kata pada idenya dengan kata-kata, ide ini akan menjadi objek bagi dirinya sendiri sebagai kata-kata yang terdengar (audible) sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
2. Penguasaan melalui Bahasa
Bahasa juga memaksakan pandangan konseptual pemakai bahasa karena secara tak langsung manusia mengevaluasi realita berdasarkan bahasa yang manusia miliki. Dengan cara seperti inilah bahasa mempengaruhi pikiran dan tindakan manusia. Sebuah desa miskin yang sedang banyak penduduknya susah mencari makanan, hal tersebut bagi pemerintah bukanlah kelaparan, tetapi “rawan pangan”. Pelonjakan harga, bukanlah “kenaikan harga”, tetapi “penyesuaian harga”. Upaya rakyat Palestina lepas dari “penjajahan” Israel adalah tindakan “agresi” , sedangkan tindakan Israel adalah “pembalasan”.
Filosof barat, Harold Titus, bahkan mengatakan bahwa bahasa mencetak pikiran-pikiran orang yang memakainya. Pernyataan ini meskipun belum terbukti dalam kancah penelitian ilmiah akan tetapi memuat sebuah gagasan yang orisinal. Komunikasi manusia bersifat intensional. Dengan kata lain, dasar komunikasi yang dilakukan oleh manusia adalah mengubah pola pikir dan sikap orang lain. Transmisi informasi ini sangat penting bagi sebuah kebudayaan mempertahankan bentuk pengetahuan (known forms) yang dimilikinya. Satu rumusan yang dikeluarkan oleh Michael Foucoult dan Thomas Szas tentang bahasa kiranya menjadi kata kunci dari pengaruh bahasa dalam merekayasa perilaku. Foucoult mengatakan bahwa “Siapa yang mampu memberi nama, dialah yang menguasai”, sedangkan Szas mengatakan bahwa “Kalau di dunia hewan berlaku hukum makan atau dimakan, maka dalam dunia manusia berlaku hukum membahasakan atau dibahasakan”
Jika kita berani untuk melangkah lebih jauh lagi, kita akan mendapatkan hipotesis bahwa bahasa mencetak sebuah kepribadian. Ketika satu bahasa memproduksi satu perilaku tertentu, serta ketika perilaku tersebut diulang-ulang menjadi kebiasaan maka yang tercipta adalah kepribadian. Hal ini dikarenakan bahwa pada mulanya manusia membentuk kebiasaan, tetapi setelah itu kebiasaanlah yang membentuk manusia.
3. Masalah penerjemahan.
Menurut pandangan Whorfian, muatan (content) berdiri di atas bentuk bahasa yang merupakan medium dalam menentukan sebua makna. Oleh karena itu translasi satu bahasa ke bahasa lain sangat problematik dan kadang menjadi tidak mungkin. Translasi kadang hanya mampu memindahkan bahasa akan tetapi tidak mampu memindahkan muatan dan makna, karena ada semacam unverbalized thought yang harus juga diterjemahkan. Beberapa sastrawan yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa lain merasa ada sesuatu yang kurang dari hasil terjemahan tersebut.
4. Keterbatasan Kata Emosi
Implikasi lain dari hipotesis Whorf dan Sapir adalah keterbatasan kosa kata yang menyebabkan gangguan psikologis. Sedikitnya kosa kata emosi yang dimiliki oleh banyak orang membuat mereka lemah dalam menggambarkan emosi mereka dengan kata-kata mereka. Padahal kemampuan untuk verbalisasi emosi ini sangat berguna untuk kesehatan mental mereka. Mampu memberi nama emosi berarti dapat memilikinya untuk digunakan sesuai dengan fungsinya dan tidak terganggu dengan kehadirannya. Daniel Goleman (1995) sudah mendeteksi pentingnya masalah ini sejak awal. Kemampuan memberi nama pada emosi adalah salah satu bagian integral Kecerdasan Emosi dalam aspek Self Awarenes. Di sini individu mampu mengamati diri, menghimpun kosa kata untuk melabeli perasaannya, serta mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan, dan reaksi. Mengetahui aneka ragam perasaan yang muncul memungkinkan individu untuk mengenal diri mereka sendiri.
Dengan membahasakannya dalam kata-kata, mereka menjadi tahu bahwa emosi itu benar-benar nyata ada dalam diri mereka. Seorang ahli psikolinguistik, Alfred Korzybsky mengatakan beberapa gangguan jiwa disebabkan oleh keterbatasan penggunaan kata oleh individu yang tidak sanggup mengungkapkan realitas dengan cermat. Yang diketahuinya hanya dua pilihan yang ekstrem. Gembira-sedih, tersanjung-marah, atau sehat-sakit. Padahal realitas tidaklah demikian. Hidup tidak terpisah menjadi kutub ekstrim negatif dan ekstrim positif. Realitas sangat kaya sekali dengan warna-warna emosi.
Perasaan atau emosi sedih muncul tanpa pemaknaan yang jelas. Mereka belum mengetahui apa yang menyebabkan emosi tersebut muncul dan bagaimana hubungannya dengan reaksi yang mereka lakukan. Pelajar belum dibina dan dibimbing untuk mengenal emosi mereka dan cara-cara mengekspresikannya dengan baik. Dengan mengenal emosi yang sedang berlangsung, maka emosi tersebut dapat dinikmati dan dikendalikan.
Melalui uraian di muka dapat disimpulkan bahwa bahasa mampu mengubah pikiran melalui beberapa formulasi, antara lain:
1. Bahasa meningkatkan komunikasi
2. Bahasa memperluas pikiran dengan adanya abstraksi
3. Bahasa membentuk kebudayaan
4. Bahasa dapat membangun verbal sef-concept
F. PENUTUP
Bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal. Misalnya adanya temuan hubungan yang signifikan antara kemampuan mengklasifikasikan (classificatory ability) and pemahaman makna kata (word meaning) pada individu yang memiliki gangguan bahasa atau individu yang menderita skizofren.
Wacana yang dilontarkan oleh Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut. Beberapa pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan daripada pandangan yang menentangnya. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain:
1. Determinasi bahasa dapat dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensi dalam menalar daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2. Proses satu arah tersebut dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam bahasa yang digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang dunia dan juga sebaliknya.
3. Studi komparasi antar bahasa yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih diarahkan untuk mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada perbandingan bahasa utama sebuah masyarakat.
Daftar Pustaka
Albrecht, K. 1986. Brain Power. London: John Willey & Sons.
Forrester, M.A., 1996. Psychology of Language : A Critical Introduction. London: Sage Publication
Gleitman, L & Papafragou, A. 2000. Language and thought. To appear in K. Holyoak and B. Morrison (eds.), Cambridge Handbook of Thinking and Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press.
Jaszczolt, K. 2000. Language and Thought. www.cam.ac.uk
Ludlow, P. 2000. Language and Thought. Martinich and D. Sosa (eds.) A Companion to Analytic Philosophy, Oxford: Basil Blackwell
Olson D R, 1970 Language and thought: aspects of a cognitive theory of semantics. Psycho! Review. 77:257-73, 1970.
Rakhmat, J. 1999. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2000. Catatan Kang Jalal. Bandung: Rosda Karya.
Slobin, l. Language and thought online: Cognitive consequences of linguistic relativity Published in d. Gentner & s. Goldin-meadow (eds.), (2003). Language in mind: advances in the study of Language and thought. Cambridge Press.
Sumaryono, H. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, J. 1998. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal Culture & Psychology. Vol I: 227-258. London: Sage Publication
Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Culture. Cambridge : Cambridge University Press
Oleh : Wahyu Widhiarso
Format Kutipan APA :
Widhiarso, W. (2005). Pengaruh bahasa terhadap pikiran kajian hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Retrieved from http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/h-33/pengaruh-bahasa-terhadap-pikiran.html