Perkembangan yang pesat terjadi setelah Perang Dunia II, yakni dengan dibentuknya Joint Committee on Educational Television (JCET) pada tahun 1950-an (Miarso:2004, h 415).
Sepuluh tahun kemudian keluar sejumlah laporan penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh besar penggunaan media TV dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Almstead dan Graf (1960) melakukan penelitian terhadap siswa kelas 10 yang belajar tentang geometri. Mereka disuruh belajar lewat televisi saja, ternyata 85% di antara mereka lulus ujian New York Regent, dan 30% di antaranya mencapai skor lebih dari 90. Hasil itu setara dengan yang dicapai oleh mereka yang belajar di sekolah-sekolah biasa.
Tiga tahun kemudian, laporan yang dikeluarkan Dewan Sekolah Anaheim mempaparkan bahwa uji coba yang dilakukan di California menunjukkan bahwa dari 48 kasus yang diamati sebelum dan sesudah menonton tv, ternyata hasil dari kelompok yang menonton tv jauh lebih baik dibanding yang tidak menonton. Berdasarkan hasil penelitiannya pula, Chu dan Schramm (1967) menyimpulkan bahwa anak-anak dan orang dewasa belajar banyak dari televisi instruksional (Wilkinson: 1984 h.18-22).
Namun menjelang akhir millennium kedua, muncul kritik yang sifatnya mendekonstruksi keyakinan besarnnya pengaruh televisi terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Menurut George Comstock dan timnya seperti dikutip oleh Postman, berdasarkan kajian atas 2.800 hasil studi yang bertopik sekitar pengaruh televisi terhadap tingkah laku, dan kemampuan kognitif, ternyata tidak ditemukan bukti yang mendukung pernyataan bahwa proses belajar dimudahkan jika informasi ditampilkan dalam setting dramatis sebagaimana ditampilkan oleh media tv. Postman bahkan berkesimpulan sangat ekstrim bahwa menonton tv tidaklah memperbaiki proses belajar, dan cenderung kurang mengembangkan kemampuan berpikir dalam tingkat kompleksitas yang tinggi (Postman, opcit. h. 159).
Dalam konteks sekarang, pendapat Postman agaknya yang paling mendekati realitas. Siaran TV memang menyiarkan banyak informasi, namun karena sifatnya hanya sekilas dengar dan pandang maka sedikit pula yang bisa mengendap dalam ingatan khalayak. Khalayak hanya memperoleh informasi secara sepotong-sepotong sehingga sulit untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Realitasnya, siaran tv memang memperkaya kepemilikan informasi pada khalayak, namun teramat sedikit yang bisa dikutip dari siaran TV untuk referensi ilmiah. Hal itu membuktikan rendahnya otoritas program tv sebagai karya ilmiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa siaran televisi lebih banyak dipandang sebagai hiburan semata.
Di Indonesia, usaha untuk menyelenggarakan TV pendidikan sudah muncul sejak Repelita I (1969). Akan tetapi langkah konkret baru terlihat pada tahun 1978 dengan dibentuknya Pusat Teknologi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekomdikbud). Tersendat-sendatnya langkah ke arah itu disebabkan oleh sikap monopolistik TVRI. Pada 23 Nopember 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI serta Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda menandatangani naskah kerjasama tentang penggunaan teknologi pendidikan, dan salah satu poin pentingnya adalah dukungan pihak kerajaan Belanda bagi Indonesia untuk menyelenggarakan TV pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, pada Mei 1988 berhasil disepakati rencana induk yang meliputi empat kategori kegiatan, yaitu (1) mediated instrucational system; (2) broadcasted Educational Program; (3) Instrucsional and Communication System Reseach; dan (4) Instrucational Development. Akan tetapi belum sampai program tersebut direalisasi sudah muncul inisiatif dari pihak swasta, yakni pengusaha Hardiyanti Rukmana yang lebih dikenal dengan sebutan Mbak Tutut berniat mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sehingga televisi pendidikan yang menjadi program pemerintah justru tidak dapat direalisasi (Miarso: 2004).
Pada awal kemunculannya siaran TPI menggunakan fasilitas pemancar dan frekuensi milik TVRI. Program-program yang ditayangkan pun sebagian besar produksi Pustekomdikbud. Kenyataan itu memang terasa amat janggal mengingat pemerintah sendiri sebenarnya punya rencana mendirikan televisi pendidikan namun realisasinya justru oleh pihak swasta namun menggunakan sumber daya milik negara. Celakanya, dalam perjalanan waktu TPI berbelok arah dan menjadi televisi komersial yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh putri sulung penguasa Orde Baru, Soeharto.
Kegagalan TPI menjaga eksistensi sebagai televisi pendidikan memberikan preseden buruk bagi pihak lain yang ingin mendirikan televisi pendidikan, sekaligus meninggalkan citra negatif bahwa program-program televisi pendidikan sebagai hal yang membosankan dan tidak menarik untuk ditonton. Di tengah melemahnya minat pihak swasta untuk mendirikan televisi swasta, kini pihak Direktorat Jenderal Menengah dan Kejuruan (Dikmenjur) Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia giat merintis penyelenggaraan televisi pendidikan (TVE). Sayangnya, upaya itu tidak didukung oleh payung hukum yang memadai karena UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak memberikan hak hidup bagi televisi pendidikan.
Daftar pustaka
Miarso, Yusufhadi, 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media dan Pustekkom Diknas.
Wilkonson, Gene L, 1984. Media Dalam Pembelajaran Penelitian Selama 60 Tahun (terjemahan), Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali.
Postman, Neil, 1995. Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi (terjemahan), Jakarta: Sinar Harapan.
Ditulis oleh: A.Darmanto, Peneliti di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi (BPPI) Wilayah IV, Balitbang Depkominfo
0 komentar:
Posting Komentar